Kyai yang sederhana, tapi kejeniusannya melebihi para sarjana.
KH. MA. SAHAL MAHFUDZ; “KIAI PENCARI MUTIARA”
Sebagaimana yang terjadi pada kyai pesantren, Kyai Sahal dari Kajen adalah perokok berat. Itu tidak hanya nampak pada
rokok yang selalu dipegang dan dihisapnya, tapi juga pada keadaan
fisiknya, kurus kering dan tenggorokannya sering terkena batuk.
Kebiasaan merugikan ini mungkin datang dari “kebiasaan kiai” untuk
sedikit tidur dan berlama-lama dalam keadaan terbangun. Kalau tidak
membaca kitab-kitab agama sendirian hingga larut malam, tentu untuk
menemui tamu yang mengajak berbincang tentang banyak hal. Belum lagi
kedudukan beliau sebagai Sekertaris Syuriah NU Wilayah Jawa Tengah, yang
membawa tambahan kerja rutin menerima tamu atau mengikuti rapat yang
menghabiskan waktu.
Lahir, dibesarkan, dan juga akhirnya menetap di “Desa Pondok” Kajen di
Kabupaten Pati -sebuah desa dengan belasan pesantren yang hidup terpisah
satu dari yang lain- Kyai Sahal dididik dalam semangat memelihara
derajat penguasaan ilmu-ilmu keagamaan tradisional. Apalagi di bawah
bimbingan ayahnya sendiri waktu kecil, Kyai Mahfudz yang juga “Kyai
Ampuh,” adik sepupu almarhum Ra’is Aam NU, Kyai Bisri Syansuri.
Kemudian melanjutkan pelajaran dengan bimbingan kyai “Ampuh” lainnya,
seperti Kyai Zubair Sarang.Pada dirinya terdapat tradisi ketertundukan
mutlak pada ketentuan hukum dalam kitab-kitab fiqh, dan keserasian total
dengan akhlak ideal yang dituntut dari ulama tradisional. Atau dalam
istilah pesantren, ada semangat tafaqquh (memperdalam pengetahuan hukum
agama) dan tawarru’ (bermoral luhur).
Tidak heran jika Kiai Sahal “menjadi jago” di usia muda. Belum genap
usia 40 tahun ia telah menunjukkan kemampuan tinggi dalam forum-forum
fiqh. Ini terbukti dalam siding-sidang BM (Bahtsul Masail) tiga bulanan
yang dilakukan NU Jawa Tengah.
Bulan lalu di Moga Pemalang, misalnya, Kiai Sahal muncul lagi dengan
cemerlang. Sekian ratus kiai membahas sebuah masalah pelik: “Kawin lari.
Haramkah atau halakah? Bagaimana kedudukan ayah atau wali yang menurut
madzhab memiliki wewenang menetapkan jodoh seorang anak gadis?”
Bergiliran para Kiai berbicara berbagai pendapat dengan argumennya,
kemudian diserahkan kepada sebuah tim perumus untuk memberikan keputusan
redaksional di ujung pertemuan dua hari.
Sementara menunggu, Kyai sahal diminta berbicara sekitar masalah itu
kepada mereka yang tidak ikut bersidang dengan panitia perumus. Dalam
pidato tanpa persiapan itulah tampak kebolehan kyai. Ia berkali-kali
menyebutkan kutipan panjang dalam bahasa Arab dari kitab Syarqawi, salah
satu kitab utama madzhab Syafi’i, tanpa melihat catatan sekalipun.
Pendeknya, masalah kawin lari harus dilihat dari berbagai sudut pandang.
Kompleksitas hukum fiqh dan berbagai jawaban yang diberikannya terhadap
kasus yang berlainan satu dari yang lain, menjadi menonjol dalam
penyajian Kiai Sahal itu.
Gambaran sepintas tentang “cara kerja” dan orientasi yang serba
legal-formal yang dianut Kiai Sahal itu secara sepihak tentu terasa
kaku. Tidak tanggap terhadap kehidupan secara umum, hanya pendekatan
kasuistik. Tidak memiliki “filsafat kehidupan” yang luas, atau “kerangka
humanistic” yang besar. Tidak jelas kerangka kemasyarakatan (societal
framework, al-manhaj al-ijtima’i) yang coba dikembangkannya.
Anehnya, kiai berambut penuh uban pada usia yang belum tua itu, bersikap
cukup “aneh” bagi kalangan pesantren tradisional. Apalagi pesantren
pesisir utara Jawa.
Mula-mula menerima masukan baru berupa proyek pengembangan masyarakat,
dibawakan oleh LP3ES dari Jakarta. Perhatiannya dimintakan untuk
memimpin kerja yang dulunya tidak pernah dipikirkan kiai pesantren,
seperti pelestarian lingkungan (karena ada pencemaran oleh mata
pencaharian utama di Desa Kajen itu, yaitu membuat tepung tapioca),
memperkenalkan teknologi terapan bagi penduduk desa (tungku Lorena yang
menghemat energy dan sebangsanya), dan memulai usaha merintis
pengembangan organisasi ekonomi yang lebih mandiri di kalangan rakyat
pedesaan.
Usaha bersama sebagai wadah pra-koperasi diprakarsainya dalam usaha
membuat dan kemudian memasarkan “krupuk Tayamum” (digoreng dengan pasir)
dari bahan dasar tepung tapioca. Cukup lumayan, mampu menyerap tenaga
kerja sekian kepala keluarga yang tadinya menganggur di desa miskin itu.
What makes Sammy Run? Apa yang membuat Sammy berlari? Dan apa yang
menggerakkan Kiai Sahal? Bagaimana Kiai yang suka dibuat bingung dengan
istilah Inggris atau Belanda itu mencapai “kearifan” di atas? Dan berani
mempertaruhkan kewibawaannya di kalangan sesama ulama pesantren dengan
menerima kehadiran seorang “bule” Amerika, beragama Katolik, untuk
tinggal dan mengajar bahasa Inggris di pesantrennya?
Jawabannya: Fiqh itu sendiri. Keputusan-keputusan hukum agama di masa
lampau diperlakukan secara menyeluruh (bahasa sekarang, komprehensif)
dan seimbang. Bukankah dalam Ihya’ Imam Ghozali banyak mutiara yang
berhubungan dengan masalah gizi? Bukankah kitab-kitab fiqh cukup
mengatur hubungan dengan “orang dzimmi” (orang non Muslim)?
Bukankah kewajiban mengatur kehidupan bermasyarakat dalam totalitasnya,
bukan aspek legal dan politiknya, sudah begitu banyak dimuat kitab-kitab
lama? Mengapa tidak diperlukan keputusan-keputusan lepas dalam fiqh itu
sebagai untaian mutiara yang memunculkan kerangka kemasyarakatan yang
dikehendaki?
Toh, Kiai Sahal tidak pula kehilangan hubungan dengan sesama kiai
pesantren. Terbukti oleh pengayoman dari sesepuh para kiai di desanya
sendiri, Kyai Abdullah Salam. Kiai ini pemimpin pesantren hafalan
al-Quran dengan keluhuran akhlaknya (yang takut menerima bantuan uang
dari orang kaya ataupun pemerintah, karena takut “kecampuran barang
haram”, dan begitu dihormati tokoh legendaris Mbah Hasan Mangli di Jawa
Tengah) memberikan persetujuan penuh atas kerja-kerja yang dilakukan
Kiai Sahal.
Itu bukti kuatnya akar “rangkaian mutiara” seperti yang dipungut Kiai
Sahal itu, untuk masa lampau ataupun masa depan.
0 komentar:
Posting Komentar