Jumat, 28 Februari 2014

CIRI-CIRI RASULULLAH SAW. YANG HADIR DALAM MIMPI AL-HABIB MUNDZIR AL-MUSAWA

CIRI-CIRI RASULULLAH SAW. YANG HADIR DALAM MIMPI AL-HABIB MUNDZIR AL-MUSAWA

Ketika ada seorang jamaah bertanya kepada al-Habib Mundzir al-Musawa tentang pertemuannya dengan Baginda Rasulullah Saw., maka beliau pun menjawab:

“Saya sebenarnya kurang berkenan menjawab namun saya pun tak berani berdusta. Saya sering berjumpa dengan Rasulullah Saw., dan sesekali ada hal berupa wasiat dan nasihat.

Ciri-ciri Rasulullah Saw. yang nampak dalam mimpi al-Habib Mundzir adalah:

1.Cambang dan janggut beliau sangat hitam gelap kebiru-biruan dari gelapnya.
2.Wajah beliau bagaikan mutiara yang bercahaya.
3.Senyumnya tak pernah sirna dari bibir indahnya.
4.Hati serasa linu dan seakan akan mencair karena keindahan wajah Sang Nabi Saw.
5.Lezat memandang wajah beliau Saw. terasa linu ke sekujur tubuh seakan lebih dari 1000x rasanya ejakulasi. Sekujur tubuh serasa linu tak terperikan.
6.Jari-jemari beliau lentik dan lembut dan sangat indah.
7.Tingginya sekitar 200 cm.
8.Imamahnya putih dan besar.
9.Kedua matanya sangat indah dan memancarkan kesejukan dan penuh kasih sayang.
10.Membuat orang yang memandang matanya ingin luluh dan bersimpuh berlutut di kakinya dan menangis bagaikan bayi manja yang memeluk ibunya karena tak melihat yang lebih mengasihinya selain ibunya.
11.Ucapannya dan suara beliau Saw. berwibawa, namun lembut dan perlahan hampir berbisik, namun jelas dan sangat merdu

Duh... saya tak akan mampu mengqiyaskannya lagi. Sungguh benar ucapan Anas bin Malik Ra.: “Tidak pernah kami melihat pemandangan lebih menakjubkan dari wajah Rasulullah Saw.” (Shahih Bukhari).

Sungguh benar ucapan Abu Hurairah Ra.: “Wahai Rasulullah, jika kami memandang wajahmu maka jiwa kami tergetar dan terangkat semakin mulia.”

Pernah saya sudah akan berangkat dakwah ke luar kota, tapi tubuh ini penat dan sangat lelah, saya masih rebahan dan sangat berat untuk berangkat. Maka saya bermimpi melihat beliau Saw. telah berdiri di depan pintu, memegang tas gantung dari kulit, seraya berkata dengan lembut dan tersenyum: “Saya akan berangkat dakwah, kau mau ikutkah?”

Saya terbangun dari tidur dan kaget. Saya faham betul itu teguran lembut dari beliau Saw. agar saya segera berangkat. Maka saya bergegas dan berangkat.”

Al-Habib Mundzir al-Musawa pernah menyampaikan bahwa setiap orang mempunyai cerita yang berbeda-beda dalam hal pertemuannya dengan Baginda Rasulullah Saw. Bentuk wujud dan rupa beliau Saw. sesuai dengan kekuatan iman orang tersebut. Semakin kuat imannya maka akan semakin indah.

Al-Habib Mundzir al-Musawa juga menyampaikan bahwa saat beliau menuliskan ciri-ciri dari Baginda Rasul Saw. dalam tulisan di atas maka saat itu pula air mata kerinduan beliau kepada Baginda Rasul Saw. tak terbendung dan mengalir dengan derasnya.

ROHATIL(Kisah Sang Rasul)


ROOHATII ATHYARU TASYDU, FI LAYAALIL MAULIDI …
WA BARIIQUN NURIYABDUU, MIN MA’AANI AHMADI … 2X
WA BARIIQUN NURIYABDUU, MIN MA’AANI AHMADI … 2X
FI LAYAALIL MAULIDI … FI LAYAALIL MAULIDI …


Abdullah nama ayahnya, Aminah ibundanya…
Abdul Muthalib kakenya, Abu Thalib pamannya…
Khadijah istri setia, Fathimah putri tercinta…
Semua bernasab mulia, dari Quraisy ternama…
(inilah kisah sang Rosul, yang penuh suka duka 2X
Oh...Penuh Suka Duka, Oh...Penuh Suka Duka )


Dua bulan di kandungan, wafat ayahandanya…
Tahun Gajah dilahirkan, yatim dengan kakeknya…
Sesuai adat yang ada, disusui Halimah…
Enam tahun usianya, wafat ibu terpuja…
(inilah kisah sang Rosul, yang penuh suka duka 2X

Oh...Penuh Suka Duka, Oh...Penuh Suka Duka)

Delapan tahun usia, kakek meninggalkannya…
Abu Thalib pun menjaga, paman paling membela…
Saat kecil penggembala, dagang saat remaja…
Umur dua puluh lima, memperistri Khadijah…
(inilah kisah sang Rosul, yang penuh suka duka 2X
Oh...Penuh Suka Duka, Oh...Penuh Suka Duka )

Diumur ketiga puluh, mempersatukan bangsa…
Saat peletakan batu, Hajar Aswad mulia…
Genap 40 tahun, mendapatkan risalah…
Ia pun menjadi Rosul, akhir para Anbiya…
(inilah kisah sang Rosul, yang penuh suka duka 2X

Oh...Penuh Suka Duka, Oh...Penuh Suka Duka )

Di Karang Oleh : Habib Rizieq Iman Besar FPI 

Sabtu, 22 Februari 2014

(Kisah) KETIKA SANG LEBAH MENJAMU ROSULALLAH

(Kisah) KETIKA SANG LEBAH MENJAMU ROSULALLAH ====================================

Suatu hari, Rasulullah saw dan Imam Ali Karamallahu Wajhah duduk ditengah kebun kurma, lalu ada
seekor lebah yang terbang disekeliling Nabi Muhammad saw.
Rasulullah saw bersabda kepada Imam Ali : “Wahai Ali
tahukah kamu apa yang dikatakan oleh lebah ini ?”
Sayyidina Ali menjawab: “Tidak wahai Rasulullah”

Lalu Rasulullah saw bersabda lagi kepada Imam Ali :
“ Ketahuilah wahai Ali, lebah ini sekarang
mengundang kita sebagai tamunya dan berkata bahwa dia telah menyediakan madu disuatu tempat, kemudian
Rasulullah saw memerintahkan Sayyidina Ali untuk
mengambil madu tersebut dari tempat itu.”
Sayyidina Ali pun bangkit dan mengambil madu tersebut dari
tempatnya.

Rasulullah saw bersabda kepada sang Lebah :
”Wahai lebah, makanan kalian berasal dari bunga-bunga
yang pahit, lalu apa yang menyebabkan dia berubah menjadi
madu yang manis ?”

Lebah pun menjawab :
” Wahai Rasulullah, manisnya madu ini berkat kami bersholawat kepadamu dan keluargamu, karena setiap kali kami menghisap sari bunga, saat itu pula kami menerima ilham untuk bersholawat
tiga kali kepadamu.

Dan ketika kami mengucapkan:
"Allahumma Sholli 'Ala Sayyidina Muhammad Wa ‘ala Aali Sayyidina Muhammad"
”Ya Allah limpahkanlah sholawat-Mu kepada Sayyidina Muhammad dan keluarga Sayyidina Muhammad,”
Maka berkat sholawat kepadamu itulah, madu kami menjadi manis.”

Subhanallah..

Pesan Baginda Nabi saw :

"Perbanyaklah membaca sholawat untukku, maka aku akan menjadi saksi dan pemberi syafa'at (penolong) bagimu di hari Kiamat kelak.". اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سيّدنا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ سَيّدنَآ مُحَمَّدٍ.

Rabu, 19 Februari 2014

Dzikir Setelah Sholat Maktubah menurut Rasulullah SAW


 Dzikir Setelah Sholat Maktubah menurut Rasulullah SAW



أَسْتَغْفِرُ اللهَ (ثلاثا) اَللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلاَمُ، وَمِنْكَ السَّلاَمُ، تَبَارَكْتَ يَا ذَا الْجَلاَلِ وَاْلإِكْرَامِ. 

“Aku minta ampun kepada Allah,” (dibaca tiga kali). Lantas membaca: “Ya Allah, Engkau pemberi keselamatan, dan dariMu keselamatan, Maha Suci Engkau, wahai Tuhan Yang Pemilik Keagungan dan Kemuliaan.” [HR. Muslim 1/414.] 
لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرُ، اَللَّهُمَّ لاَ مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ، وَلاَ مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ، وَلاَ يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ. 
“Tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah Yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagiNya. BagiNya puji dan bagi-Nya kerajaan. Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Ya Allah, tidak ada yang mencegah apa yang Engkau berikan dan tidak ada yang memberi apa yang Engkau cegah. Tidak berguna kekayaan dan kemuliaan itu bagi pemiliknya (selain iman dan amal shalihnya). Hanya dari-Mu kekayaan dan kemuliaan.” [HR. Al-Bukhari 1/255 dan Muslim 1/414.] 
لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرُ. لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ، لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ، وَلاَ نَعْبُدُ إِلاَّ إِيَّاهُ، لَهُ النِّعْمَةُ وَلَهُ الْفَضْلُ وَلَهُ الثَّنَاءُ الْحَسَنُ، لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُوْنَ. 
“Tiada Tuhan (yang berhak disembah) kecuali Allah, Yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagiNya. BagiNya kerajaan dan pujaan. Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali (dengan pertolongan) Allah. Tiada Tuhan (yang hak disembah) kecuali Allah. Kami tidak menyembah kecuali kepadaNya. Bagi-Nya nikmat, anugerah dan pujaan yang baik. Tiada Tuhan (yang hak disembah) kecuali Allah, dengan memurnikan ibadah kepadaNya, sekalipun orang-orang kafir benci.” [HR. Muslim 1/415] 
سُبْحَانَ اللهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَاللهُ أَكْبَرُ (33 ×) لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرُ. 
“Maha Suci Allah, segala puji bagi Allah. Dan Allah Maha Besar. (Tiga puluh tiga kali). Tidak ada Tuhan (yang hak disembah) kecuali Allah Yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagiNya. BagiNya kerajaan. BagiNya pujaan. Dia-lah Yang Mahakuasa atas segala sesuatu.” [Barangsiapa yang membaca kalimat tersebut setiap selesai shalat, akan diampuni kesalahannya, sekalipun seperti busa laut.” HR. Muslim 1/418.]


Membaca surah Al-Ikhlas, Al-Falaq dan An-Naas setiap selesai shalat (fardhu). [HR. Abu Dawud 2/86, An-Nasai 3/68. Lihat pula Shahih At-Tirmidzi 2/8. Ketiga surat dinamakan al-mu’awidzat, lihat pula Fathul Baari 9/62.]


Membaca ayat Kursi setiap selesai shalat (fardhu). [Barangsiapa membacanya setiap selesai shalat, tidak yang menghalanginya masuk Surga selain mati.” HR. An-Nasai dalam Amalul Yaum wal Lailah No. 100 dan Ibnus Sinni no. 121, dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ 5/329 dan Silsilah Hadits Shahih, 2/697 no. 972.]
 

لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ يُحْيِيْ وَيُمِيْتُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرُ. (10× بعد صلاة المغرب والصبح) 
“Tiada Tuhan (yang berhak disembah) kecuali Allah Yang Maha Esa, tiada sekutu bagiNya, bagiNya kerajaan, bagi-Nya segala puja. Dia-lah yang menghidupkan (orang yang sudah mati atau memberi roh janin yang akan dilahirkan) dan yang mematikan. Dialah Yang Mahakuasa atas segala sesuatu.” Dibaca sepuluh kali setiap sesudah shalat Maghrib dan Subuh. [HR. At-Tirmidzi 5/515, Ahmad 4/227. Untuk takhrij hadits tersebut, lihat di Zaadul Ma’aad 1/300]
اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا، وَرِزْقًا طَيِّبًا، وَعَمَلاً مُتَقَبَّلاً. 
“Ya Allah! Sesungguhnya aku mohon kepadaMu ilmu yang bermanfaat, rezeki yang halal dan amal yang diterima.” (Dibaca setelah salam shalat Subuh).[HR. Ibnu Majah dan ahli hadits yang lain. Lihat kitab Shahih Ibnu Majah 1/152 dan Majma’uz Zawaaid 10/111]

Selasa, 18 Februari 2014

Di balik indahnya Cobaan

ورود الفاقات أعياد المريدين السالك
“Datangnya musibah dan cobaan adalah hari raya yang indah bagi orang-orang yang sedang menempuh jalan menuju kepada Allah swt (السالك /المريد).”
1. Kelemahan manusia
الفاقة atau biasa diartikan sebagai puncak kelemahan dan kefakiran dan kekurangan adalah sebuah sifat yang tidak bisa lepas dari manusia dalam segala keadaan. Hanya saja datangnya musibah dan cobaan yang menimpa seseorang manusia, akan mengingatkannya kembali setelah beberapa saat meninggalkan sifat asal ini.
Artinya, kadang-kadang seseorang melupakan sifat lemah dan kurang yang melekat kepadanya ketika sedang diliputi nikmat dan jauh dari musibah. Ia menyangka bahwa dirinya adalah orang yang kuat, padahal sebenarnya lemah. Ia mengira dirinya kaya meskipun hakikatnya miskin. Tak lain karena yang dinamakan kuat adalah orang yang memiliki kekuatan serta mampu mempertahankannya sesuai apa yang ia inginkan, bukannya orang yang hanya mampu menggunakan kekuatan, namun tidak bisa mempertahankannya. Begitu juga yang dinamakan kaya adalah orang yang memikiki dan menguasai kekayaan.
Bukanlah dikatakan kaya seseorang yang membutuhkan harta yang banyak, agar ia menjadi tidak butuh kepada orang lain.
Dan jika kita mau berkata jujur, di dunia ini tidak ada manusia yang memiliki kekuatan kemudian mempertahankan sesuai kehendaknya. Sama halnya, tak ada seorang pun yang benar-benar memiliki kekayaannya, hingga ia sama sekali tidak membutuhkan orang lain.
Pada dasarnya, hakikat manusia seluruhnya adalah orang-orang yang fakir. Selalu membutuhkan kepada Dzat yang memberikan makanan agar mereka tidak kelaparan, yang menganugerahkan kekuatan serta menghadiahkan kekayaan kepada mereka sehingga mereka menjadi kaya dan tidak butuh kepada orang lain. Tak lain Dzat tersebut adalah Allah Yang Maha Sempurna.
“Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Ka'bah). Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.” (Q.S. Quraisy: 3-4)
Apabila Allah swt menganugerahkan kekayaan dan kekuatan atau memberikan makanan dan rasa aman kepada seseorang manusia, maka hal itu tidaklah serta merta menjadikannya lepas dari sifat lemah dan kurang, yang melekat pada dirinya. Karena kelemahan adalah sifat asli yang selalu melingkupi kehidupan manusia. Adapun kekuatan, kekayaan ataupun kemakmuran, semua itu hanyalah perkara-perkara yang datang dan pergi silih berganti, sesuai dengan ketetapan Allah swt dan selalu menyimpan hikmah-hikmah tertentu.
Kata pepatah, “Manusia adalah tempatnya salah dan lupa (الإنسان محل الخطاء والنسيان )”. Dan memang benar, kebiasaan manusia saat berada dalam limpahan rahmat dan nikmat-Nya, ia menjadi lupa diri dan sifat aslinya yaitu, kelemahan dan kehinaan. Ia baru teringat lagi sifat asalnya ketika sedang dirundung musibah dan kemalangan.
Berarti yang di kehendaki dengan kata الفاقات oleh Ibnu ‘Athaillah dalam hikmah ini adalah musibah-musibah dan cobaan-cobaan semisal sakit, kemiskinan dan ketakutan yang melanda seseorang, dimana ia telah merasakan sehat, kaya, ketentraman, dan lain sebagainya. Bukan seperti penjelasan di awal bab ini, yang mengatakan bahwa الفاقة ialah puncak kelemahan, kefakiran dan kekurangan.
2. Rahasia di balik musibah
Seorang hamba yang sedang berusaha menempuh jalan pendekatan diri kepada Allah swt, akan melihat rahasia di balik musibahdan bencana yang menimpanya. Cobaan yang ia terima akan menjadi alarm yang membangunkan tidurnya sehingga ia sadar dan ingat kembali akan jati dirinya yaitu kelemahan dan kekurangan. Ia menganggap bahwa musibah tersebut adalah snugerah yang sangat agung melebihi nikmat kesehatan atau kekayaan, dan lain-lainnya.
Karena itu, ia akan merasa gembira dan bahagia menyambut datangnya berbagai macam musibah dan bencana. Hari-hari yang ia lalui bersama musibah, akan ia anggap sebagai hari raya yang penuh dengan kebahagiaan, karena datangnya pertolongan dan kasih sayang Allah swt kepadanya. Ia menjadi sadar, ternyata Allah ‘Azza wa Jalla tidak membiarkan dirinya tersesat dalam khayalan-khayalan yang membingungkan, yaitu fenomena kekuatan, kekayaan serta kemakmuran dan kekuasaan. Akhirnya ia teringat kembali kepada sifat asli kehambaannya, jati diri yang selalu melekat dan tak akan pernah lepas darinya, yaitu sifat lemah dan butuh kepada pertolongan dan anugerah Allah swt.
Banyak sekali peristiwa-peristiwa yang menjadi dalil tentang kebenaran hakikat ini. Saya pribadi juga pernah merasakan pengalaman seperti ini. Singkat saja, di Damaskus aku pernah mengenal seorang lelaki yang cukup terhormat dan ia juga menempati jabatan terkemuka. Setelah beberapa saat ia menikmati kemakmuran hingga mencapai titik puncaknya, Allah swt memberikan cobaan kepadanya berupa sakit yang menyebabkan kelumpuhan separuh badannya.
Tak terduga, ternyata dalam sakit yang menimpa tubuhnya, ia menemukan sebuah keadaan yang sangat mengagumkan. Ia merasa begitu dekat kepada Allah swt sehingga timbul kegembiraan dan kebahagiaan yang tak pernah ia temui dan sama sekali belum pernah ia nikmati. Sebelumnya, ia tek pernah membayangkan anugerah dan keindahan semacam ini.
Suatu hari, aku bersama orang tuaku menyempatkan diri untuk menjenguk laki-laki yang sedang sakit tersebut. Setelah dirasa cukup, orang tuaku berpamitan kepadanya dan tak lupa mendoakan agar ia segera sembuh dari sakit yang menderitanya. Mengejutkan sekali karena laki-laki tersebut kemudian berkata, “Wahai temanku, aku mempersaksikan ucapanku kedapamu jikalau kesembuhanku akan meyebabkan hilangnya sebuah anugerah Allah swt yang sangat agung, maka aku sungguh tidak membutuhkan kesembuhan seperti itu”
Dengan cukup terkesan orang tuaku membalas ucapannya, “Bukan seperti itu yang kuinginkan, maksudku adalah aku meminta kepada Allah swt agar melimpahkan kesembuhan dari sakit yang menimpamu, namun dengan tetap membiarkan anugerah agung (kebahagiaan [الحال] yang ia rasakan ketika sakit) tersebut berada dalam dirimu.
Dari kisah tersebut, kita bisa menemukan kebenaran hikmah Ibnu ‘Athaillah ini. Lihat saja, lelaki yang sakit tersebut ternyata malah merasakan sebuah kebahagiaan yang melebihi nikmat kesehatan. Tak lain karena sakit yang ia derita merupakan perantara yang mendekatkan dirinya kepada Allah swt ke dalam hati.
3. Hari raya selamanya
Orang-orang yang sedang berusaha keras menempuh jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah swt, akan menyambut datangnya musibah dan bencana dengan gembira laksana hari raya yang penuh dengan kebahagiaan dan kesenangan. Lalu apakah orang-orang arif rabbani tidak merasakan kebahagiaan seperti ini ketika terkena musibah?
Orang-orang arif dan rabbani adalah hamba-hamba Allah SWT yang telah memiliki jiwa yang teguh dan stabil keadaanya. Tak ada perbedaan yang ia ia rasakan baik dalam masa indah ataupun masa-masa yang buruk. Artinya nikmat apapun yang ia terima tidak akan menyebabkan jiwanya lupa dan lalai dari Allah SWT. Sehingga jika ia dilanda oleh suatu musibah, maka hal itu tidaklah menjadi alarm pengingat baginya. Bagaimana mungkin cobaan itu jadi pengingat kalau ia tidak pernah lupa ataupun lalai.
Memang sudah menjadi sifat dasar bagi orang-orang yang termasuk dalam kategori hamba arif, bahwa ia selalu bersama Allah SWT disetiap waktu dalam setiap keadaan. Segala sesuatu yang datang kepadanya akn selalu ia sambut dengan gembira dan bahagiahingga hatinya senantiasa diliputi perasaan ridla kepada Allah SWT.
Ketika sedang memperoleh kenikmatan, ia akan menggunakan dengan sebaik-baiknya dengan tetap meyakini bahwa apa yang ia terima adalah anugerah agung dari Allah SWT. Ia tidak akan pernah cemas ataupun gelisah karena bencana atau musibah yang menimpanya. Sebaliknya ia akan menyambut musibah itu dengan tangan terbuka karena ia sadar bahwa itu semua itu adalah ketetapan Allah SWT. Tak hanya sekedar sabar, ia bahkan menerima cobaan itu dengan penuh keridloan serta yakin jika hal itu adalah yang terbaik untuknya.
Dengan keadaan seperti itu, tentunya seorang arif tak akan terdorong untuk menyambut musibah yang melandanya melebihi sambutan yang ia lakukan saat menerima nikmat. Penyebabnya tak lain karena ia selalu menjadi sorang tamu dihadapannya Allah SWT. Apa yang disuguhkan oleh Allah kepadanya akan selalu ia yakini sebagai hidangan penghormatan, baik musibah ataupun nikmat, semua itu ia yakini sebagai anugerah agung dari Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang.
Hamba yang arif akan selalu merasa butuh kepada Allah ‘Azza wa Jalla baik di masa susah ataupun gembira. Kenyamanan dan kekayaan yang ia rasakan tidak akan menjadikannya mabuk kepayang dan terlena dari Allah swt.
Kejadian semacam ini sering kita jumpai dari kehidupan para sahabat dan ulama’ salaf yang telah mencapai kedudukan arif dan rabbani. Misalnya saja keberadaan Sayyidina Umar ibn Khaththab r.a setelah berhasil menaklukan negeri Kisro sehingga memperoleh harta rampasan perang yang sangat banyak dan melimpah ruah. Atau kehidupan Abdullah ibn Mubarak r.a yang menjadi teladan bagi pengusaha sukses yang kaya raya, dan lain-lain. Kekayaan dan kenyamanan yang mereka nikmati sama sekali tidak menghalangi untuk menyadari kelemahan yang menjadi jatidiri mereka. Mereka tidak membutuhkan musibah atau bencana untuk mengingatkan hakikat kemanusiaan yang selalu melekat pada diri mereka.
4. Kesimpulan
Meski sebenarnya manusia selalu diliputi sifat kelemahan dan kekurangan, namun terkadang hakikat ini terlupakan oleh seorang السالك المريد, yaitu orang yang sedang berusaha menempuh jalan untuk mendekat kepada Allah SWT. Biasanya keadaan ini terjadi saat ia sedang merasakan kenyamanan hidup dengan disertai kemewahan dan kekayaan yang berlimpah-limpah.
Ia baru teringat kembali jati diri kelemahannya saat tertimpa suatu musibah atau bencana. Karena itu ia akan menyambut musibah tersebut dengan penuh kegembiraan dan kebahagiaan. Ia bahkan bersyukur karena Allah SWT masih memperhatikannya dan tidak membiarkan dirinya larut dalam fenomena kesempurnaan yang menyebabkan lalai dari hakikat kehimaam yang melekat pada dirinya.
Lain halnya dengan keadaan hamba-hamba arif dan rabbani yang selalu ingat akan jatidiri kelemahannya. Dalam suka maupun duka, kaya atau miskin, mereka selalu yakin dengan sebenar-benarnya bahwa manusia adalah makhluk yang butuh kepada Allah dalam segala keadaan.
Nikmat yang mereka terima ataupun musibah yang melanda, semuanya mereka sambut dengan tangan terbuka tanpa perbedaan sedikit pun. Mereka menganggap semua itu adalah anugerah dari Allah SWT yang telah diputuskan dan pasti akan mereka rasakan. Semua hari yang mereka lalui adalah hari raya yang harus dijalani dengan kegembiraan dan kebahagiaan.

KELUARGA HARMONIS

Keluarga harmonis Kalau kita mengamati pada keseluruhan hukum islam, maka kita akan menemukan bahwa hukum islam itu terbagi menjadi tiga, yaitu: 
Pertama : tazkiyatunnafsi al-insaniyyah atau memperbaiki diri dari sifat-sifat tercela. 
Kedua : tandzimul usroh atau mengatur keluarga menuju keluarga yang bahagia. 
Ketiga : tandzimul usroh al- insaniyyah atau mengatur hubungan satu manusia dengan lainnya. Hukum-hukum islam ini adalah suatu anugerah dan nikmat yang tiada terkira dari Tuhan kita Allah S.W.T. 

Hukum Allah segi dhohirnya adalah kewajiban yang berat untuk kita lakukan tapi sebetulnya merupakan anugerah dan kemulyaan bagi kita, karena kita tidak bisa mendapatkan kebahagiaan yang hakiki kecuali melalui menerapkan hukum dan aturan allah swt.


Ini yang di maksud dalam firman allah
 اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم الإسلام دينا 
Ketiga tingkatan tersebut adalah tingkatan yang berurutan, dengan kata lain suatu keluarga tidak mungkin bisa bahagia kalau anggota keluarga tidak menghilangkan sifat-sifat tercelanya (tazkiyatun nafsi), dan kita tidak akan bisa mewujudkan masyarakat yang bersih dan baik tanpa mendaki lebih dahulu pada dua tangga sebelumnya yaitu tazkiyatunnafsi dan tandzimul usroh. 
Disini kita dapat mengatakan bahwa seberapa keluarga taat pada perintah agama dengan menerapkan aturan-aturan Allah S.W.T, maka semakin kokoh dan bahagia keluarga tersebut. Sebaliknya seberapa keluarga jauh dari agama dan menyimpang dari aturan Allah S.W.T maka sebera besar itu juga dia dihinggapi keretakan dan dijauhkan. 
Mari kita lihat realita kehidupan keluarga di negara-negara yang jauh dari petunjuk Allah S.W.T di negara-negara maju barat, di sana sudah tidak lagi mengenal arti keluarga karena keluarga di sana telah cerai berai tanpa ada ikatan, anak tidak kenal ayah-ibunya, saudara tidak kenal saudaranya. Kemajuan tidak bisa mengganti kedudukan agama, kemoderenan tidak akan mampu membahagiakan manusia ketika mereka menjauh dari rahmah agama Allah S.W.T. 
Untuk kesemuanya ini Allah memerintahkan manusia untuk menegakkan aturan- aturannya. Allah menjadikan dalam keluarga suatu pemimpin yaitu seorang ayah, kemudian Allah memerintahkan anak-anak untuk berbuat baik pada kedua orang tua
 وقضى ربك أن لا تعبدوا إلا إياه وبالوالدين إحسانا إما إن يبلغن عندك الكبر أحدهما أو كلاهما فلا تقل لهما أف ولا تنهرهما وقل لهما قولا معروفا 
 Nabi muhammad s.a.w ketika ditanya siapa dari manusia yang patut untuk aku temani? Nabi saw menjawab ibumu . Sail : lalu siapa? Nabi saw : ibumu. Sail : lalu siapa? Nabi saw: ibumu. Sail : lalu siapa? Nabi : bapakmu. ayah dan ibu dalam berumah-tangga adalah penyangga rumah tangga pemimpin dan nahkoda seisi rumah.
 وقضى ربك ان لا تعبدوا الا إياه وبالوالدين احسانا إما يبلغن عندك الكبر أحدهما او كلاهما فلا تقل لهما أف ولا تنهرهما وقل لهما قولا كريما. روى احمد والترمذي وابن ماجه عن أبي الدرداء رضي الله عنه ان رجلا أتاه فقال : ان لي امرأة وان امي تأمرني بطلاقها قل ابو الدرداء سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : الوالد اوسط ابواب الجنة فان شئت فأضع ذلك الباب او احفظه
Diriwayatkan bawa ibnu umar punya istri yang dicintai tapi umar ayahnya tidak menyukainya lalu memerintahkannya supaya mentalak istrinya tapi sang anak tidak mau, lalu sang ayah matur pada rosulullah saw lalu nabi memerintahkan untuk menalaknya. 
Hadis ini bukan berarti orang tua boleh semena-mena memerintahkan anaknya dengan serampangan karena allah juga merintahkan orang tua bertaqwa pada Allah, kalau orang tua sudah bertaqwa pada Allah, maka dia akan memerintah dengan kebaikan. 
Ayat dan hadits-hadits itu menunjukkan pentingnya birrul walidain dan kita mesti berbangga dengan syariat islam yang telah membuka jalan menuju kehidupan harmonis dan bahagia dalam keluarga, islam adalah sumber kebahagiaan kita dalam kehidupan di dunia dan akherat, tidak mungkin kita bahagia kalau tidak menerapkan ajarannya. Bagaimana kita meninggalkan Tuhan kita yang menunjukkan jalan kebahagiaan, lalu kita mencari jalan kebahagian di kotoran tong-tong sampah. 
Sebagian kita ketika mendengar bahwa orang-orang kafir barat memperingati hari ibu lalu dia mengikutinya, mestinya dia bangga dengan syariat islam tapi dia justru bangga dengan budaya barat tersebut. Orang-orang barat mengadakan hari ibu karena kerusakan yang menimpa mereka sudah sangat parah sehingga mereka mengadakan peringatan hari ibu untuk mengembalikan anak-anak dalam mengingat lagi ibunya walau dalam satu hari saja. 
Agama kita memberitahukan dan memerintahkan supaya kita selalu dalam naungan aturannya. Maka angkat kepala kalian sebagai tanda kebanggaan Tanda kebanggaan akan syareat allah! Jangan mencari kebanggaan pada selain agama Allah! Jangan sampai menjauh dari aturan Allah, sebab kalau kalian membuang anugerah Allah ini maka kalian akan celaka selama lamanya. Wallahu a'lam.

Source : Gus Wafi Maimun

Habib Ali Al-Jufri berkisah tentang detik-detik kepergian Rasulullah SAW

Habib Ali Al-Jufri berkisah tentang detik-detik kepergian Rasulullah SAW
Wahai orang yang berakal, adakah kehidupan Allah akan berakhir? Adakah hubungan dengan Allah akan menemui titik penghabisan? Hubungan dengan Ar-Rafiqul A’la itu sesungguhnya merupakan kehidupan itu sendiri.

Dalam haji wada’nya (haji perpisahan), Rasulullah SAW berkhutbah di hadapan sekitar 120.000 orang, “Wahai manusia, dengar dan perhatikanlah, sesungguhnya aku tidak akan bertemu lagi dengan kalian selepas tahun ini.”

Semuanya terdiam, sambil mendengarkan kata demi kata yang diucapkan Rasulullah SAW.
Beliau menasihati dan berwasiat kepada mereka tentang keterikatan mereka dengan Tuhan dan agama mereka. Ketika itu Allah menurunkan ayat, “Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kalian agama kalian, Aku sempurnakan nikmat-Ku atas kalian, dan Aku ridha Islam menjadi agama kalian.”

Allah menghidupkan makna kehidupan yang dahsyat di tengah-tengah mereka, dalam suasana perpisahan dengan Rasulullah SAW. Saat itu, perpisahan dengan beliau adalah sebuah sisi kehidupan bagi umatnya setelah itu. Kemudian Rasulullah SAW pun pulang ke kota Madinah.
Bulan Rabi’ul Awwal tiba.

Di awal bulan itu, tubuh Rasulullah SAW terasa lemah. Beliau terserang sakit demam. Tubuhnya pun disirami air sejuk. Beliau bersabda, “Siramilah aku dengan air supaya aku dapat keluar untuk mengucapkan salam perpisahan dengan para sahabatku.”

Baginda pun disirami air itu, yang membuat tubuhnya terasa lebih segar.

Kemudian beliau keluar rumah, melangkahkan kakinya dengan diiringi kedua sepupunya, Ali bin Abu Thalib dan Fadhl bin Abbas, radhiyallahu ‘anhuma.

Beliau menemui para sahabat.

Saat melihat hadirnya Rasulullah SAW di tengah-tengah mereka, tampak betapa kegembiraan menyemburat dari wajah para sahabat.

Kemudian Rasulullah SAW duduk di atas mimbarnya.
Para sahabat terdiam, bersiap untuk mendengarkan segala apa yang akan diucapkan Rasulullah SAW.

Rasulullah SAW pun berkhutbah, khutbah perpisahan. Beliau bersabda, “Seseorang telah diberi pilihan, antara kehidupan di dunia atau menjumpai Ar-Rafiqul A’la (“Sahabat Teragung”, Allah SWT).”

Rasulullah SAW pun kemudian mengulang-ulang kata itu, “Ar-Rafiqul A’la, Ar-Rafiqul A’la, Ar-Rafiqul A’la…”

Wahai orang yang berakal, adakah kehidupan Allah akan berakhir? Adakah hubungan dengan Allah akan menemui titik penghabisan? Hubungan dengan Ar-Rafiqul A’la itu sesungguhnya merupakan kehidupan itu sendiri. Ucapan Rasulullah SAW itu menandakan bahwa ia memilih kehidupan yang sejati.

Bagaimana para sahabat dan keluarga Nabi menyikapi perpisahan dengan manusia yang paling mereka cintai itu? Apa saja wasiat-wasiat Rasulullah SAW, apa pesan terakhir beliau? Bagiamana Malaikat Maut bersikap ketika hendak mencabut nyawa Nabi?

AMAR MA’RUF NAHI MUNKAR YANG BENAR

AMAR MA’RUF NAHI MUNKAR YANG BENAR

“Paparan Al-Habib Ali Al-Jufriy Tentang Amar Ma’ruf Nahi Munkar yang Benar”

Imam al-Ghazali Ra. mengatakan bahwa ada 3 sifat yang harus diterapkan dalam beramar ma’ruf nahi munkar. Tanpa 3 sifat ini, amar ma’ruf nahi munkar sulit terwujud. Ketiga sifat itu ialah:

1.    Ilmu: Yaitu hendaknya para da’i memiliki ilmu (mengetahui) tentang apa yang dia ajak kepadanya atau larang darinya. Bisa jadi ia mengajak kepada sesuatu yang disangka baik padahal itu buruk, atau melarang sesuatu yang sepatutnya tidak ia larang. Hal ini tidak layak terjadi. Oleh karena itu hendaknya ilmu lebih diutamakan daripada amal, termasuk dalam amar ma’ruf nahi munkar.

2.    Wara’: Yaitu hendaknya berdakwah itu bukan ditujukan untuk mencari kedudukan atau kehormatan, menunjukkan kekuatan jasmani dan ruhani, atau yang lainnya. Sifat wara’ yaitu kita beramal hanya karena Allah Swt.

3.    Akhlak Mulia: Ini merupakan kunci dari ketiga sifat ini. Tanpa akhlak mulia, amar ma’ruf nahi munkar tidak akan berkesan, sekalipun da’i adalah seorang yang berilmu dan wara’. Salah satu bentuk akhlak mulia ialah bersabar. Bersabar merupakan sifat yang sangat penting dikala amar ma’ruf nahi munkar dibalas dengan celaan dan cacian.

Terdapat sebuah ungkapan dari Ibnu Taimiyah dalam hal bersabar ketika beramar ma’ruf nahi munkar. Beliau mengatakan: “Jika kamu tidak bersabar, kamu akan mendapatkan 2 hal:

a.    Kemungkinan kamu akan berhenti dalam mengajak kepada kebaikan dan melarang dari kemunkaran, hal seperti ini sudah banyak terjadi.
b.    Pelaku kemunkaran melakukan kemunkaran yang lebih buruk lagi daripada kemunkaran yang pernah kamu cegah. Na’udzu billah.

Mengenai hal ini, terdapat sebuah hadits Nabi Saw., ketika suatu saat beliau menyaksikan ada seorang badui yang tidak tahu apa-apa memasuki Masjid Nabi lalu kencing di salah satu bagian masjid.

Para sahabat yang juga mengetahuinya marah dan ingin segera melemparkannya keluar dari masjid. Namun tidak demikian sikap Nabi Saw., beliau bersabda kepada para sahabat: “Jangan, janganlah engkau menghentikan kencingnya.”

Lalu Nabi Saw. membiarkan badui tadi menyelesaikan kencingnya sedangkan para sahabat masih menahan marah. Setelah usai menunaikan hajatnya, Nabi Saw. menghampiri badui tadi. Beliau Saw. bersabda dengan penuh kelembutan: “Wahai orang badui, sesungguhnya masjid ini rumah Allah dan bangunan untuk beribadah dan berdzikir, ia tidak dibangun untuk perkara ini (menunaikan hajat).”

Melihat kelembutan Nabi Saw., si badui tadi lantas berdoa: “Ya Allah rahmatilah aku dan Muhammad, dan jangan Engkau rahmati orang-orang yang bersama kami (para sahabat).”

Nabi Saw. kemudian bersabda: “Jangan kamu mempersempit rahmat Allah yang luas itu.”

Nabi Saw. lalu memerintahkan para sahabat mengambil seember air untuk mengguyur air kencing tersebut. Beliau Saw. bersabda: “Sesungguhnya aku diutus untuk membuat kemudahan, dan tidak diutus untuk membuat kesulitan.” (HR. al-Bukhari, Muslim, Ahmad dan yang lainnya).

Lihat video taushiyah al-Habib Ali Al-Jufriy di sini:
https://www.facebook.com/photo.php?v=643487812368798&saved

Sya’roni As-Samfuriy, Cipayung 04 Nopember 2013

Sabtu, 01 Februari 2014

KH. MA. SAHAL MAHFUDZ; “KIAI PENCARI MUTIARA”

Kyai yang sederhana, tapi kejeniusannya melebihi para sarjana.
KH. MA. SAHAL MAHFUDZ; “KIAI PENCARI MUTIARA” Sebagaimana yang terjadi pada kyai pesantren, Kyai Sahal dari Kajen adalah perokok berat. Itu tidak hanya nampak pada rokok yang selalu dipegang dan dihisapnya, tapi juga pada keadaan fisiknya, kurus kering dan tenggorokannya sering terkena batuk. Kebiasaan merugikan ini mungkin datang dari “kebiasaan kiai” untuk sedikit tidur dan berlama-lama dalam keadaan terbangun. Kalau tidak membaca kitab-kitab agama sendirian hingga larut malam, tentu untuk menemui tamu yang mengajak berbincang tentang banyak hal. Belum lagi kedudukan beliau sebagai Sekertaris Syuriah NU Wilayah Jawa Tengah, yang membawa tambahan kerja rutin menerima tamu atau mengikuti rapat yang menghabiskan waktu. Lahir, dibesarkan, dan juga akhirnya menetap di “Desa Pondok” Kajen di Kabupaten Pati -sebuah desa dengan belasan pesantren yang hidup terpisah satu dari yang lain- Kyai Sahal dididik dalam semangat memelihara derajat penguasaan ilmu-ilmu keagamaan tradisional. Apalagi di bawah bimbingan ayahnya sendiri waktu kecil, Kyai Mahfudz yang juga “Kyai Ampuh,” adik sepupu almarhum Ra’is Aam NU, Kyai Bisri Syansuri. Kemudian melanjutkan pelajaran dengan bimbingan kyai “Ampuh” lainnya, seperti Kyai Zubair Sarang.Pada dirinya terdapat tradisi ketertundukan mutlak pada ketentuan hukum dalam kitab-kitab fiqh, dan keserasian total dengan akhlak ideal yang dituntut dari ulama tradisional. Atau dalam istilah pesantren, ada semangat tafaqquh (memperdalam pengetahuan hukum agama) dan tawarru’ (bermoral luhur). Tidak heran jika Kiai Sahal “menjadi jago” di usia muda. Belum genap usia 40 tahun ia telah menunjukkan kemampuan tinggi dalam forum-forum fiqh. Ini terbukti dalam siding-sidang BM (Bahtsul Masail) tiga bulanan yang dilakukan NU Jawa Tengah. Bulan lalu di Moga Pemalang, misalnya, Kiai Sahal muncul lagi dengan cemerlang. Sekian ratus kiai membahas sebuah masalah pelik: “Kawin lari. Haramkah atau halakah? Bagaimana kedudukan ayah atau wali yang menurut madzhab memiliki wewenang menetapkan jodoh seorang anak gadis?” Bergiliran para Kiai berbicara berbagai pendapat dengan argumennya, kemudian diserahkan kepada sebuah tim perumus untuk memberikan keputusan redaksional di ujung pertemuan dua hari. Sementara menunggu, Kyai sahal diminta berbicara sekitar masalah itu kepada mereka yang tidak ikut bersidang dengan panitia perumus. Dalam pidato tanpa persiapan itulah tampak kebolehan kyai. Ia berkali-kali menyebutkan kutipan panjang dalam bahasa Arab dari kitab Syarqawi, salah satu kitab utama madzhab Syafi’i, tanpa melihat catatan sekalipun. Pendeknya, masalah kawin lari harus dilihat dari berbagai sudut pandang. Kompleksitas hukum fiqh dan berbagai jawaban yang diberikannya terhadap kasus yang berlainan satu dari yang lain, menjadi menonjol dalam penyajian Kiai Sahal itu. Gambaran sepintas tentang “cara kerja” dan orientasi yang serba legal-formal yang dianut Kiai Sahal itu secara sepihak tentu terasa kaku. Tidak tanggap terhadap kehidupan secara umum, hanya pendekatan kasuistik. Tidak memiliki “filsafat kehidupan” yang luas, atau “kerangka humanistic” yang besar. Tidak jelas kerangka kemasyarakatan (societal framework, al-manhaj al-ijtima’i) yang coba dikembangkannya. Anehnya, kiai berambut penuh uban pada usia yang belum tua itu, bersikap cukup “aneh” bagi kalangan pesantren tradisional. Apalagi pesantren pesisir utara Jawa. Mula-mula menerima masukan baru berupa proyek pengembangan masyarakat, dibawakan oleh LP3ES dari Jakarta. Perhatiannya dimintakan untuk memimpin kerja yang dulunya tidak pernah dipikirkan kiai pesantren, seperti pelestarian lingkungan (karena ada pencemaran oleh mata pencaharian utama di Desa Kajen itu, yaitu membuat tepung tapioca), memperkenalkan teknologi terapan bagi penduduk desa (tungku Lorena yang menghemat energy dan sebangsanya), dan memulai usaha merintis pengembangan organisasi ekonomi yang lebih mandiri di kalangan rakyat pedesaan. Usaha bersama sebagai wadah pra-koperasi diprakarsainya dalam usaha membuat dan kemudian memasarkan “krupuk Tayamum” (digoreng dengan pasir) dari bahan dasar tepung tapioca. Cukup lumayan, mampu menyerap tenaga kerja sekian kepala keluarga yang tadinya menganggur di desa miskin itu. What makes Sammy Run? Apa yang membuat Sammy berlari? Dan apa yang menggerakkan Kiai Sahal? Bagaimana Kiai yang suka dibuat bingung dengan istilah Inggris atau Belanda itu mencapai “kearifan” di atas? Dan berani mempertaruhkan kewibawaannya di kalangan sesama ulama pesantren dengan menerima kehadiran seorang “bule” Amerika, beragama Katolik, untuk tinggal dan mengajar bahasa Inggris di pesantrennya? Jawabannya: Fiqh itu sendiri. Keputusan-keputusan hukum agama di masa lampau diperlakukan secara menyeluruh (bahasa sekarang, komprehensif) dan seimbang. Bukankah dalam Ihya’ Imam Ghozali banyak mutiara yang berhubungan dengan masalah gizi? Bukankah kitab-kitab fiqh cukup mengatur hubungan dengan “orang dzimmi” (orang non Muslim)? Bukankah kewajiban mengatur kehidupan bermasyarakat dalam totalitasnya, bukan aspek legal dan politiknya, sudah begitu banyak dimuat kitab-kitab lama? Mengapa tidak diperlukan keputusan-keputusan lepas dalam fiqh itu sebagai untaian mutiara yang memunculkan kerangka kemasyarakatan yang dikehendaki? Toh, Kiai Sahal tidak pula kehilangan hubungan dengan sesama kiai pesantren. Terbukti oleh pengayoman dari sesepuh para kiai di desanya sendiri, Kyai Abdullah Salam. Kiai ini pemimpin pesantren hafalan al-Quran dengan keluhuran akhlaknya (yang takut menerima bantuan uang dari orang kaya ataupun pemerintah, karena takut “kecampuran barang haram”, dan begitu dihormati tokoh legendaris Mbah Hasan Mangli di Jawa Tengah) memberikan persetujuan penuh atas kerja-kerja yang dilakukan Kiai Sahal. Itu bukti kuatnya akar “rangkaian mutiara” seperti yang dipungut Kiai Sahal itu, untuk masa lampau ataupun masa depan.

Google Santri