Selasa, 31 Desember 2013

Mengapa Orang Gila Selalu terlihat seperti Sehat-sehat saja ?

Mengapa Orang Gila Selalu terlihat seperti Sehat-sehat saja ?

Pernahkah kita berpikir, mengapa orang gila selalu sehat? Beberapa kali kita berusaha memikirkan mengapa orang gila tidak pernah sakit? Tidak pernah kita melihat sekali pun ada orang gila kerokan di pinggir jalan, meminum obat, memakai koyok, atau bahkan sakit gigi sekalipun. Jawabannya adalah KARENA MEREKA TIDAK PERNAH STRESS !!!

Orang gila tidak pernah sakit karena mereka tidak pernah stress. Mereka tidak pernah berpikir macam-macam. Makanan apa pun mereka makan. Tidak seperti kita. Sudah ada ayam goreng, masih mencari sate kambing. Sudah ada soto kerbau, masih mencari pizza, hotdog, dan lain sebagainya. Sedangkan oranggila tidak pernah minta makanan macam-macam. Makanan apapun asal namanya makanan tetap mereka makan. Bahkan nasi basi pun mereka makan.

Kedua, orang gila itu selalu qona'ah. Mereka itu triman. Menerima apa pun pemberian Alloh kepadanya. Tidak pernah menuntut macam-macam. Tidak seperti kita. Sudah diberi sepeda, masih minta motor. Sudah punya motor, masih minta mobil. Rumah sudah bagus, masih saja selalu merasa ada yang kurang. Akhirnya beli ini beli itu, renovasi ini renovasi itu. Ujungnya hutang sana sini untuk kebutuhan tersebut. Nah, ketika hutangnya sudah menggunung, jatuh sakitlah dia.

Orang gila itu entah punya pakaian ataupun tidak, mereka santai saja. Kalau mengantuk, ya tidur saja. Mereka tidak butuh tikar, apalagi kasur atau springbed. Ada lho diantara kita yang tidak bisa tidur di atas tikar. Gara-garanya karena sudahterbiasa tidur di springbed. Tidur tanpa AC juga tidak bisa.

Orang gila jarang sakit juga adalah karena mereka selalu berbahagia. Nyatanya mereka tampak selalu tersenyum. Betul kan? Orang yang selalu tersenyum pasti hatinya bahagia dan tenteram. Everething is running well, bahasa kerennya. Semuanya berlalu dengan baik-baik saja. Tidak pernah ada masalah. Kalaupun ada masalah, dia menganggap itu sebagai hiburan yang menyenangkan. Makanya dia senantiasa tersenyum.

Nah, kalau kamu semua ingin selalu sehat jadilah "orang gila". Maksud saya, hiduplah dengan qona'ah, narimo, tidak usah punyakeinginan macam-macam dan selalulah tersenyum. Mudah-mudahan kamu sehat selalu. Ok

H. ABDUL MALIK; SANG WALIYULLAH DARI TANAH JAWA

H. ABDUL MALIK; SANG WALIYULLAH DARI TANAH JAWA

Beliau adalah sosok ulama yang cukup di segani di propinsi jawa tengah, Syaikh Abdul Malik semasa hidupnya memegang dua thariqah besar (sebagai mursyid) yaitu: Thariqah An-Naqsabandiyah Al-Khalidiyah dan Thariqah Asy-Syadziliyah. Sanad thariqah An-Naqsabandiyah Al-Khalidiyah telah ia peroleh secara langsung dari ayah beliau yakni Syaikh Muhammad Ilyas, sedangkan sanad Thariqah Asy-Sadziliyah diperolehnya dari As-Sayyid Ahmad An-Nahrawi Al-Makki (Mekkah).

Asy-Syaikh Abdul Malik lahir di Kedung Paruk, Purwokerto, pada hari Jum’at 3 Rajab 1294 H (1881). Nama kecilnya adalah Muhammad Ash’ad sedang nama Abdul Malik diperoleh dari ayahnya, KH Muhammad Ilyas ketika ia menunaikan ibadah haji bersamanya. Sejak kecil Asy-Syaikh Abdul Malik telah memperoleh pengasuhan dan pendidikan secara langsung dari kedua orang tuanya dan saudara-saudaranya yang ada di Sokaraja, Banyumas terutama dengan KH Muhammad Affandi. Setelah belajar Al-Qur’an dengan ayahnya, Asy-Syaikh kemudian mendalami kembali Al-Qur’an kepada KH Abu Bakar bin H Yahya Ngasinan (Kebasen, Banyumas).

Pada tahun 1312 H, ketika Syaikh Abdul Malik sudah menginjak usia dewasa, oleh sang ayah, ia dikirim ke Mekkah untuk menimba ilmu agama. Di sana ia mempelajari berbagai disiplin ilmu agama diantaranya ilmu Al-Qur’an, tafsir, Ulumul Qur’an, Hadits, Fiqh, Tasawuf dan lain-lain. Asy-Syaikh belajar di Tanah suci dalam waktu yang cukup lama, kurang lebih selama limabelas tahun. Dalam ilmu Al-Qur’an, khususnya ilmu Tafsir dan Ulumul Qur’an, ia berguru kepada Sayid Umar Asy-Syatha’ dan Sayid Muhammad Syatha’ (putra penulis kitab I’anatuth Thalibin hasyiyah Fathul Mu’in). Dalam ilmu hadits, ia berguru Sayid Tha bin Yahya Al-Magribi (ulama Hadramaut yang tinggal di Mekkah), Sayid Alwi bin Shalih bin Aqil bin Yahya, Sayid Muhsin Al-Musawwa, Asy-Syaikh Muhammad Mahfudz bin Abdullah At-Tirmisi.

Dalam bidang ilmu syariah dan thariqah alawiyah ia berguru pada Habib Ahmad Fad’aq, Habib Aththas Abu Bakar Al-Attas, Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi (Surabaya), Habib Abdullah bin Muhsin Al-Attas (Bogor), Kyai Soleh Darat (Semarang). Sementara itu, guru-gurunya di Madinah adalah Sayid Ahmad bin Muhammad Amin Ridwan, Sayid Abbas bin Muhammad Amin Raidwan, Sayid Abbas Al Maliki Al-Hasani (kakek Sayid Muhammad bin Alwi Al Maliki Al-Hasani), Sayid Ahmad An-Nahrawi Al Makki, Sayid Ali Ridha.

Setelah sekian tahun menimba ilmu di Tanah Suci, sekitar tahun 1327 H, Asy-Syaikh Abdul Malik pulang ke kampung halaman untuk berkhidmat kepada keduaorang tuanya yang saat itu sudah sepuh (berusia lanjut). Kemudian pada tahun 1333 H, sang ayah, Asy Syaikh Muhammad Ilyas berpulang ke Rahmatullah. Sesudah sang ayah wafat, Asy-Syaikh Abdul Malik kemudian mengembara ke berbagai daerah di Pulau Jawa guna menambah wawasan dan pengetahuan dengan berjalan kaki. Ia pulang ke rumah tepat pada hari ke- 100 dari hari wafat sang ayah, dan saat itu umur Asy Syaikh berusia tiga puluh tahun.

Sepulang dari pengembaraan, Asy-Syaikh tidak tinggal lagi di Sokaraja, tetapi menetap di Kedung Paruk bersama ibundanya, Nyai Zainab. Perlu diketahui, Asy-Syaikh Abdul Malik sering sekali membawa jemaah haji Indonesia asal Banyumas dengan menjadi pembimbing dan syaikh. Mereka bekerjasama dengan Asy-Syaikh Mathar Mekkah, dan aktivitas itu dilakukan dalam rentang waktu yang cukup lama. Sehingga wajarlah kalau selama menetap di Mekkah, ia memperdalam lagi ilmu-ilmu agama dengan para ulama dan syaikh yang ada di sana.

Berkat keluasan dan kedalaman ilmunya, Syaikh Abdul Malik pernah memperoleh dua anugrah yakni pernah diangkat menjadi Wakil Mufti Madzab Syafi’i di Mekkah dan juga diberi kesempatan untuk mengajar. Pemerintah Saudi sendiri sempat memberikan hadiah berupa sebuah rumah tinggal yang terletak di sekitar Masjidil Haram atau tepatnya di dekat Jabal Qubes. Anugerah yang sangat agung ini diberikan oleh Pemerintah Saudi hanya kepada para ulama yang telah memperoleh gelar Al-‘Allamah.

Dalam hidupnya, Syaikh Abdul Malik memiliki dua amalan wirid utama dan sangat besar, yaitu membaca Al-Qur’an dan Shalawat. Beliau tak kurang membaca shalawat sebanyak 16.000 kali dalam setiap harinya dan sekali menghatamkan Al-Qur’an. Adapun shalawat yang diamalkan adalah shalawat Nabi Khidir AS atau lebih sering disebut shalawat rahmat, yakni “Shallallah ‘ala Muhammad.” Dan itu adalah shalawat yang sering beliau ijazahkan kepada para tamu dan murid beliau. Adapun shalawat-shalawat yang lain, seperti shalawat Al-Fatih, Al-Anwar dan lain-lain.

Beliau dikenal sebagai ulama yang mempunyai kepribadian yang sabar, zuhud, tawadhu dan sifat-sifat kemuliaan yang menunjukan ketinggian dari akhlaq yang melekat pada diri beliau. Sehingga amat wajarlah bila masyarakat Banyumas dan sekitarnya sangat mencintai dan menghormatinya. Beliau disamping dikenal memiliki hubungan yang baik dengan para ulama besar umumnya, Syaikh Abdul Malik mempunyai hubungan yang sangat erat dengan ulama dan habaib yang dianggap oleh banyak orang telah mencapai derajat waliyullah, seperti Habib Soleh bin Muhsin Al-Hamid (Tanggul, Jember), Habib Ahmad Bafaqih (Yogyakarta), Habib Husein bin Hadi Al-Hamid (Brani, Probolinggo), KH Hasan Mangli (Magelang), Habib Hamid bin Yahya (Sokaraja, Banyumas) dan lain-lain.

Diceritakan, saat Habib Soleh Tanggul pergi ke Pekalongan untuk menghadiri sebuah haul. Selesai acara haul, Habib Soleh berkata kepada para jamaah,”Apakah kalian tahu, siapakah gerangan orang yang akan datang kemari? Dia adalah salah seorang pembesar kaum ‘arifin di tanah Jawa.” Tidak lama kemudian datanglah Syaik Abdul Malik dan jamaah pun terkejut melihatnya.
Hal yang sama juga dikatakan oleh Habib Husein bin Hadi Al-Hamid (Brani, Kraksaan, Probolinggo) bahwa ketika Syaikh Abdul Malik berkunjung ke rumahnya bersama rombongan, Habib Husein berkata, ”Aku harus di pintu karena aku mau menyambut salah satu pembesar Wali Allah.

Syaikh Ma’shum (Lasem, Rembang) setiap berkunjung ke Purwokerto, seringkali menyempatkan diri singgah di rumah Asy-Syaikh Abdul Malik dan mengaji kitab Ibnu Aqil Syarah Alfiyah Ibnu Malik secara tabarrukan (meminta barakah) kepada Asy-Syaikh Abdul Malik. Demikian pula dengan Mbah Dimyathi (Comal, Pemalang), KH Khalil (Sirampog, Brebes), KH Anshori (Linggapura, Brebes), KH Nuh (Pageraji, Banyumas) yang merupakan kiai-kiai yang hafal Al-Qur’an, mereka kerap sekali belajar ilmu Al-Qur’an kepada Syaikh Abdul Malik.

Kehidupan Syaikh Abdul Malik sangat sederhana, di samping itu ia juga sangat santun dan ramah kepada siapa saja. Beliau juga gemar sekali melakukan silaturrahim kepada murid-muridnya yang miskin. Baik mereka yang tinggal di Kedung Paruk maupun di desa-desa sekitarnya seperti Ledug, Pliken, Sokaraja, dukuhwaluh, Bojong dan lain-lain. Hampir setiap hari Selasa pagi, dengan kendaraan sepeda, naik becak atau dokar, Syaikh Abdul Malik mengunjungi murid-muridnya untuk membagi-bagikan beras, uang dan terkadang pakaian sambil mengingatkan kepada mereka untuk datang pada acara pengajian Selasanan (Forum silaturrahiem para pengikut Thariqah An-Naqsyabandiyah Al-Khalidiyah Kedung paruk yang diadakan setiap hari Selasa dan diisi dengan pengajian dan tawajjuhan).

Murid-murid dari Syaikh Abdul Malik diantaranya KH Abdul Qadir, Kiai Sa’id, KH Muhammad Ilyas Noor (mursyid Thariqah An-Naqsabandiyah Al-Khalidiyah sekarang), KH Sahlan (Pekalongan), Drs Ali Abu Bakar Bashalah (Yogyakarta), KH Hisyam Zaini (Jakarta), Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Yahya (Pekalongan), KH Ma’shum (Purwokerto) dan lain-lain. Sebagaimana diungkapkan oleh murid beliau, yakni Habib Luthfi bin Yahya, Syaikh Abdul Malik tidak pernah menulis satu karya pun. “Karya-karya Al-Alamah Syaikh Abdul Malik adalah karya-karya yang dapat berjalan, yakni murid-murid beliau, baik dari kalangan kyai, ulama maupun shalihin.

Diantara warisan beliau yang sampai sekarang masih menjadi amalan yang dibaca bagi para pengikut thariqah adalah buku kumpulan shalawat yang beliau himpun sendiri, yaitu Al-Miftah al-Maqashid li-ahli at-Tauhid fi ash-Shalah ‘ala babillah al-Hamid al-majid Sayyidina Muhammad al-Fatih li-jami’i asy-Syada’id. Shalawat ini diperolehnya di Madinah dari Sayyid Ahmad bin Muhammad Ridhwani Al-Madani. Konon, shalawat ini memiliki manfaat yang sangat banyak, diantaranya bila dibaca, maka pahalanya sama seperti membaca kitab Dala’ilu al-Khairat sebanyak seratus sepuluh kali, dapat digunakan untuk menolak bencana dan dijauhkan dari siksa neraka. Syaikh Abdul Malik wafat pada hari Kamis, 2 Jumadil Akhir 1400 H (17 April 1980) dan dimakamkan keesokan harinya lepas shalat Ashar di belakang masjid Baha’ul Haq wa Dhiya’uddin, Kedung Paruk Purwokerto. (Sumber: http://syadziliyah-jogja.blogspot.com/2009/01/syaikh-abdul-malik-mursyid-syadziliyah.html)

Jumat, 27 Desember 2013

Ikut Sunnah atau Madzhab?

Ikut Sunnah atau Madzhab?

Di antara ciri khas Ahlussunnah Wal-Jama’ah adalah mengikuti pola bermadzhab dalam amaliah sehari-hari terhadap salah satu madzhab fiqih yang empat, yaitu madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Bahkan menurut al-Imam Syah Waliyullah al-Dahlawi (1110-1176 H/1699-1762 M), pola bermadzhab terhadap suatu madzhab tertentu secara penuh telah dilakukan oleh mayoritas kaum Muslimin sejak generasi salaf yang saleh, yaitu sejak abad ketiga Hijriah. Karenanya, sulit kita temukan nama seorang ulama besar yang hidup sejak abad ketiga hingga saat ini yang tidak mengikuti salah satu madzhab fiqih yang ada.

Belakangan setelah lahirnya gerakan Wahhabi (Salafi) di Najd Saudi Arabia, lahir pula gerakan anti madzhab yang mengajak kaum Muslimin agar menanggalkan baju bermadzhab dan kembali kepada “ajaran al-Qur’an dan Sunnah”. Karena menurut mereka, para imam madzhab sendiri seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam al-Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal, lebih mendahulukan hadits shahih daripada hasil ijtihad. Bukankah semua imam madzhab pernah menyatakan, “idza shahha al-hadits fahuwa madzhabi (apabila suatu hadits itu shahih, maka itulah madzhabku)”.

Sudah barang tentu ajakan menanggalkan pola bermadzhab dan kembali kepada al-Qur’an dan Hadits adalah ajakan beracun, karena secara tidak langsung ajakan tersebut beranggapan bahwa para imam madzhab dan para ulama yang bermadzhab telah keluar dari al-Qur’an dan hadits. Anggapan semacam ini jelas tidak benar, karena semua madzhab fiqih yang ada berangkatnya dari ijtihad para imam mujtahid, sang pendiri madzhab. Sedangkan ijtihad mereka jelas dibangun di atas pondasi al-Qur’an dan Sunnah. Seorang ulama baru dibolehkan berijtihad, apabila telah memenuhi persyaratan sebagai mujtahid, yang antara lain menguasai kandungan al-Qur’an dan Sunnah sebagai landasan ijtihadnya.

Kita juga sering mendengar pernyataan kalangan anti madzhab yang mengatakan, “mengapa Anda mengikuti Imam al-Syafi’i, kok tidak mengikuti Rasulullah SAW saja”, atau “siapa yang lebih alim, Rasulullah SAW atau Imam al-Syafi’i”? Tentu saja pertanyaan tersebut sangat tidak ilmiah, dan menjadi bukti bahwa kalangan anti madzhab memang tidak mengetahui al-Qur’an dan ilmu ushul fiqih.

Ketika seseorang itu mengikuti Imam al-Syafi’i, hal itu bukan berarti dia meninggalkan Rasulullah saw. Karena bagaimanapun Imam al-Syafi’i itu bukan saingan Rasulullah saw atau menggantikan posisi beliau. Para ulama yang mengikuti madzhab al-Syafi’i seperti Imam al-Bukhari, al-Hakim, al-Daraquthni, al-Baihaqi, al-Nawawi, Ibn Hajar dan lain-lain, berkeyakinan bahwa Imam al-Syafi’i lebih mengerti dari pada mereka terhadap makna-makna al-Qur’an dan hadits Rasulullah saw secara menyeluruh. Ketika mereka mengikuti al-Syafi’i, bukan berarti meninggalkan al-Qur’an dan Sunnah. Akan tetapi mengikuti al-Qur’an dan Sunnah sesuai dengan pemahaman orang yang lebih memahami, yaitu Imam al-Syafi’i.

Hal tersebut dapat dianalogikan dengan ketika para ulama mengikuti perintah al-Qur’an tentang hukum potong tangan bagi para pencuri. Dalam al-Qur’an tidak dijelaskan, sampai di mana batasan tangan pencuri yang harus dipotong? Apakah sampai lengan, sikut atau bahu? Ternyata Rasulullah saw menjelaskan sampai pergelangan tangan. Hal ini ketika kita menerapkan hukum potong tangan dari bagian pergelangan tangan, bukan berarti kita mengikuti Rasulullah saw dengan meninggalkan al-Qur’an. Akan tetapi kita mengikuti al-Qur’an sesuai dengan penjelasan Rasulullah saw yang memang diberi tugas oleh Allah SWT sebagai mubayyin, penjelas isi-isi al-Qur’an. (QS. al-Nahl : 44 dan 64).

Al-Qur’an al-Karim sendiri mengajarkan kita untuk taqlid dan bermadzhab kepada ulama. “Bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.”
Dalam ayat di atas, Allah SWT memerintahkan orang yang tidak tahu agar bertanya kepada para ulama. Allah SWT tidak memerintahnya agar membolak-balik terjemahan al-Qur’an atau kitab-kitab hadits, sebagianmana yang dilakukan oleh para anti madzhab. (www.idrusramli.com)

AIR BEKAS PEMANDIAN JASAD RASULULLAH SAW

AIR BEKAS PEMANDIAN JASAD RASULULLAH SAW.
 Salah seorang santri Rubath Tarim li al-Habib Salim bin Abdullah asy-Syathiri, Ustadz Mochammad Nuzulul Bawwakiel Muttaqien, suatu hari mengkisahkan tentang “Air pemandian Rasulullah Saw.” Alkisah, asy-Syaikh al-Fadhil Mutwalli asy-Sya’rawi pernah diundang untuk menghadiri sebuah acara muktamar di Arab. Dalam majelis muktamar tersebut, asy-Syaikh mengajukan pertanyaan yang tidak pernah disangka oleh semua hadirin, terutama pimpinan muktamar. Beliau bertanya: “Ke manakah air bekas pemandian jenazahnya Rasulullah Saw.?” Semua hadirin seperti terbungkam, tidak ada satu pun ulama yang menjawabnya. Hingga pimpinan muktamar berkata: “Ya Syaikh Mutawalli asy-Sya’rawi, pertanyaan ini perlu jawaban dan pembahasan. Aku akan menjawabnya pada pertemuan mendatang.” Sepulang dari muktamar, pemimpin majelis muktamar itu menjadi gelisah. Dengan segala kemampuannya dicarilah dalalah dan kisah atau riwayat yang menunjukkan tentang “Ghusalah”, air bekas pemandian jasad Rasulullah Saw. itu. Namun semua kitab pun tanpa bergeming dan enggan memberikan jawban. Di tengah kecapekannya, tertidurlah pemimpin majelis muktamar itu. Dan di dalam mimpinya ia bertemu Rasulullah Saw. yang sedang bersama seorang lelaki agung, membawa sebuah qindil (lentera). Sang pemimpin muktamar sangat senang sekali dan berkata: “Ya Rasulullah, ke manakah air bekas pemandian jasad Tuan Saw.?” Rasulullah Saw. tersenyum dan menjawab: “Bertanyalah kepada shahibul qindil” (sembari menunjuk lelaki yang membawa lentera). Maka bertanyalah sang pemimpin majelis muktamar kepada lelaki itu, dan dijawab dengan suara yang halus dan jelas: “Air bekas pemandian jasad Rasulullah Saw. naik ke langit, kemudian turunlah air itu ke bumi. Tidak akan jatuh percikan air itu di bumi kecuali Allah menjadikannya sebuah masjid.” Terbangunlah sang pemimpin muktamar itu dengan wajah berseri dengan ditemukannya jawaban dari pertanyaan Syaikh Mutawalli asy-Sya’rawi. Dan ketika pertemuan muktamar dilanjutkan, sang pimpinan muktamar itu berkata kepada Syaikh asy-Sya’rawi: “Aku telah menemukan jawaban dari pertanyaan Anda ya Syaikh.” Syaikh Mutawalli asy-Sya’rawi menyahut: “Apakah itu jawaban dari shahibul qindil?” Pemimpin muktamar itu bertanya: “Apakah Anda mengetahuinya?” Syaikh Mutawalli asy-Sya’rawi berkata: “Akulah shahibul qindil itu.” Sya’roni As-Samfuriy, Cilangkap Jaktim 26 Desember 2013 Silakan halal dicopas atau dishare. Mari bacakan surat al-Fatihah dan shalawat, Allahumma shalli wasallim wabarik 'ala Sayyidina Muhammadin wa'ala Aalihi wa Shahbihi ajma'in. http://www.muslimedianews.com/2013/12/air-bekas-pemandian-jasad-rasulullah-saw.html http://pustakamuhibbin.blogspot.com/2013/12/air-bekas-pemandian-jasad-rasulullah-saw.html

Senin, 23 Desember 2013

(Syariah) Toleransi, Tenggangrasa dan Ucapan Selamat Natal

(Syariah) Toleransi, Tenggangrasa dan Ucapan Selamat Natal

NU Online
Tidak ada seorangpun di dunia ini yang dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Manusia selalu memerlukan orang lain guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebab itulah manusia dijuluki sebagai makhluk sosial. Demikian padatnya kebutuhan manusia sehingga persinggungan diantara mereka tidak mungkin terelakkan. Bahkan di dunia yang semakin mengglobal ini, persinggungan itu telah menembus batas. Batas ruang, waktu, budaya, agama dan juga ideologi.

Persinggungan ini harus dikelola dengan baik, agar tidak berubah menjadi gesekan yang akan menghanguskan harmonisme kehidupan. Untuk menjaga ritem ini diperlukan sebuah konsep saling mengerti, yang dalam bahasa kita dikenal dengan teposeliro atau tenggangrasa. Yaitu sikap saling menghormati dan saling menghargai perasaan orang lain. Karena hanya dengan sikap inilah keselarasan hidup bersama orang lain akan tetap terseleggara. Apalagi jika mengingat keberadaan negara Indonesia yang terdiri dari berbagai suku, ras, agama dan juga bahasa. Maka memiliki sikap tenggangrasa menjadi sebuah kewajiban bagi saiapapun yang hidup di Indonesia.

Bagi umat Islam sendiri perbedaan ini bukanlah sebuah masalah. Karena memang demikianlah Allah swt menciptakan kehidupan di dunia ini, sebagaimana firmannya dalam al-Hujarat ayat 13

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ
شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal…

Memang mengelola perbedaan bukanlah hal yang mudah, hanya muslim yang berkwalitas iman dan taqwanya yang dititipi oleh Allah swt kemampuan menjaga keseimbangan ini. Karena sejatinya perbedaan itu merupakan kasunyatan yang sengaja dihadirkan Allah swt sebagai cobaan bagi umat muslim. Sebagaimana diandaikan Allah sendiri dalam surat al-Maidah 48.

وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَٰكِن لِّيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ ۖ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ ۚ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ

Seandainya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu,

Ayat di atas merupakan sebuah petunjuk bagi umat muslim, bahwasannya persamaan dan kesatuan hanyalah sekedar pengandaian adapaun kenyataannya sesungguhnya adalah perbedaan, dan sekaligus Allah swt menjadikan yang nyata itu sebagai ‘soal’ ujian bagi manusia. Karena Allah swt mengetahui bahwa manusia tidak akan mampu menjawab soal ujian yang bersifat pengandaian seperti di atas. Dengan kata lain manusia tidak akan mampu bertahan hidup jika Allah swt menciptakan manusia dalam satu macam saja.

Dalam rangka mempermudah manusia menemukan jawaban dari soal ujian tentang perbedaan ujian ini, Allah swt perintahkan Rasulullah saw turun ke bumi untuk mengajar umatnya. Sayangnya persinggungan Rasulullah saw dengan pemeluk agama lain (yahudi dan nasrani) tidak tergambar dengan komplit dalam hadits-haditsnya kecuali sangat sedikit sekali. Diantaranya adalah hadits riwayat Abu Hurairah;

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ r قَالَ لاَ تَبْدَءُوا الْيَهُودَ وَلاَ النَّصَارَى بِالسَّلاَمِ فَإِذَا لَقِيتُمْ أَحَدَهُمْ فِى طَرِيقٍ فَاضْطَرُّوهُ إِلَى أَضْيَقِهِ

“Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah Saw. bersabda: “Janganlah kamu memulai salam kepada orang Yahudi dan Nasrani, dan bila kamu berjumpa dengan mereka di jalan maka desaklah mereka ke tempat yang lebih sempit.” (HR. Muslim)

Melalui hadits di atas Rasulullah saw mengajarkan kepada umatnya bagaimana cara memperlakukan pemeluk agama lain ketika berpapasan di tengah jalan. Demikian pula seharusnya ajaran ini diqiyaskan secara aplikatif dalam kehidupan sehari-hari. Hendaknya seorang muslim tetap menyediakan ‘ruang sosial’ untuk menghormati mereka, tetapi ruang itu harus lebih sempit adanya dibandingkan dengan ruang sosial yang kita sediakan sesama muslim. Hal ini sebagai bukti keteguhan hati dalam beragama Islam.

Ruang itupun harus jelas batasannya. Imam Nawawi dalam Tafsir Munir menjelaskan bahwa penghormatan itu hanya boleh dilakukan dalam batas urusan duniawi (sosial saja) tidak menyinggung soal aqidah. Itupun harus disertai dengan keyakinan bahwa hanya Islamlah agama yang paling haq, adapun yang lain adalah bathil. Jikalau penghormatan itu terlalu berlebihan hingga melahirkan rasa simpati kepada agama lain, maka hal itu dilarang. Karena dapat menyebabkan kekufuran.

واعلم أن كون المؤمن مواليا للكافر يحتمل ثلاثة اوجوه احدها ان يكون راضيا بكفره ويتولاه لأجله وهذا ممنوع لان الرضى بالكفر كفر. وثانيها المعاشرة الجميلة فى الدنيا بحسب الظاهر وذلك غير ممنوع. وثالثها الركون الى الكفر والمعونة والنصرة اما بسبب القرابة اوبسبب المحبة مع اعتقاد ان دينه باطل فهذا لا يوجب الكفر الا انه منهى عنه لان الموالة هذا المعنى قد تجره الى استحسان طريقه والرضى بدينه وذلك يخرجه عن الاسلام

Demikian pula pendapat Imam ar-Razi yang termaktub dalam tafsirnya Mafathul Ghaib. Meski demikian keterangan dalam Hasyiyah al-Bujairami alal Khatib memberikan pengecualian bahwa berhubungan dengan pemeluk agama lain sangat dianjurkan apabila dirasa mampu memberikan maslahah secara syar’i atau dapat menghindarkan diri dari bahaya

قَوْلُهُ (تَحْرُمُ مَوَدَّةُ الْكَافِرِ) أَيْ الْمَحَبَّةُ وَالْمَيْلُ بِالْقَلْبِ وَأَمَّا الْمُخَالَطَةُ الظَّاهِرِيَّةُ فَمَكْرُوهَةٌ ... الخ أما معاشرتهم لدفع ضرر يحصل منهم أو جلب نفع فلاحرمة فيه ا هـ

Pembahasan mengenai hubungan dengan agama lain menjadi sangat kontekstual ketika musim natal dan tahun baru tiba. Apalagi kalau tidak soal hukum mengucapkan natal dan tahun baru kepada pemeluk agama lain?

Beranjak dari keterangan teks di atas, memang tidak ada satupun kata yang menunjuk pada ucapan selamat natal ataupun tahun baru. Mungkin saja tradisi semacam itu tidak terdapat dalam kehidupan penulis pada zaman dan dilingkungannya. Akan tetapi teks tersebut bisa menjadi sumber simpulan melarang mengupkan selamat natal dan tahun baru kepada pemeluk agama lain, kecuali hanya sebagai basa-basi saja. Bukan diniatkan sebagai do’a apalagi sebagai rasa simpati dengan aqidahnya.

Demikialah tradisi saling berucap selamat ini dilakukan oleh umat bergama di Indonesia. Mereka saling mengucap selamat di hari raya dan tahun baru sebagai mujamalah dhahriyah (basa-basi saja) tanpa ada rasa dalam hati. Ini merupakan salah satu nilai yang terkandung dalam konsep tenggangrasa. Yaitu saling menjaga perasaan antara satu dan lainnya yang diejawantahkan dalam bentuk basa-basi dan kesopanan. Ini sangatlah penting karena ‘yang lain’ itu pada dasarnya adalah bagian dari keluarga besar Indonseia juga. Tenggangrasa tidak pernah meganggap yang lain adalah benar-benar orang lain. Tenggangrasa melihat perbedaan sebagaimana adik-kakak yang berbeda pendirian, berbeda selera dan keinginan tetapi mereka adalah satu keluarga. Sesuai dengan firman Allah swt

كَانَ النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً فَبَعَثَ اللَّهُ النَّبِيِّينَ مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ وَأَنْزَلَ مَعَهُمُ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِيَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ فِيمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ وَمَا اخْتَلَفَ فِيهِ إِلَّا الَّذِينَ أُوتُوهُ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْهُمُ الْبَيِّنَاتُ

Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata,

Hal ini sungguh berbeda dengan konsep toleransi yang memandang orang lain adalah benar-benar orang lain, bukan bagian dari keluarga. Sehingga harus dihormati dan diberi kesempatan selayaknya menghormati seorang tamu bukan saudara. Diantaranya dengan membiarkan (tolere) apapun yang mereka lakukan meskipun itu berbeda dengan kita. Terasa sekali adanya unsur ‘agak memaksa’ dalam memberikan penghormatan menurut konsep toleransi. Dalam toleransi tersirat adanya kepentingan dalam ‘menghormati’ orang lain, penghormatan yang tidak lahir dari tulusnya hati tapi karena seuatu hadirnya sesutau yang lain.

Sesungguhnya jika diangan lebih dalam berbagai masalah yang timbul seputar wacana hubungan antar pemeluk agama (mulai dari ucapan selamat natal, valentine day, tahun baru, dll) itu muncul berbarengan dengan munculnya konsep toleransi itu sendiri. Walhasil apakah kita masih ingin melanjutkan keterjebakan kita dalam goa toleransi yang selalu menghadirkan permasalahan? Atau menggeser diri keluar dari kegelapan goa toleransi dan kembali pada terang tenggangrasa? (Red. Ulil H)

YANG DIIRIKAN DAN DIINGINI GUS DUR

YANG DIIRIKAN DAN DIINGINI GUS DUR

Suatu ketika saat sedang berdua dengan Gus Dur beliau bercerita banyak hal tentang keteladanan ulama-ulama terdahulu. Saat beliau pergi ke Baghdad Irak di tahun 1991 bersama Ibu Sinta Nuriyah dan adik bungsunya, Hasyim Wahid, di sela-sela dialog saya bertanya kepada Gus Dur: “La menawi ingkang dipun pengini Bapak piyambak nopo?” (Kalau bapak sendiri penginnya apa).

Jawab Gus Dur: “Jan jane aku iku lo iri karo Kanjeng Nabi”, beliau sambil ngekek tertawa. “Lo nganti saiki ora mandeg-mandeg walaupun sak detik ummate moco sholawate Kanjeng Nabi terus ra ono watese. Iku kerana welas asihe Kanjeng Nabi maring ummate.” (Aku lho iri sama Kanjeng Nabi Saw. Karena sampai saat ini tidak pernah lewat sedetikpun ummatnya berhenti, terus siang malam tak ada batasnya membacakan sholawat Nabi Saw.)

“Nek diarani kepengin, aku mung pengin nek aku mati wong-wong iku ora mandeg macakna meski mung Fatehah kanggo aku” (Kalau dianggap saya punya keinginan, aku hanya ingin jika aku meninggal nanti orang-orang tidak berhenti mendoakan saya meskipun hanya dengan membacakan surat al-Fatihah), imbuh Gus Dur.

“Dan nanti kalau ada kesempatan, ziarahlah kamu ke Syaikh Abdul Qodir Jailani di Baghdad,” kata beliau lagi.

“Nggih Pak,” jawabku.

Dari kalimat di atas saya memahaminya seperti ini: meskipun Gus Dur sedang memerankan peran apapun di dunia baik sebagai Kyai, Ketua Umum PBNU, Ketua Dewan Syuro PKB, Politisi, Budayawan, Presiden WCRP, Presiden RI, maupun Guru Bangsa, Gus Dur tetap merasa tidak menjadi apa-apa. Dan semuanya itu hanya jalan untuk mendapatkan ridha Nya Allah Swt. (Sumber cerita: Gus Nuruddin Udien Hidayat).

Lahu al-Fatihah…
_______________
_____
Allahumma shalli wasallim wabarik ‘ala Sayyidina Muhammadin wa’ala Aalihi wa Shahbihi ajma’in.

Sya’roni As-Samfuriy, Cilangkap Jaktim 23 Desember 2013|

SYAIR KECINTAAN SEORANG GURU KEPADA MURIDNYA

|SYAIR KECINTAAN SEORANG GURU KEPADA MURIDNYA
Oleh: Al allamah Al Musnid Habib Umar bin Hafidz

Tiada henti Engkau habiskan Hidupmu menempuh jalan kekasihmu Muhammad SAW, dan Engkau mengajak Manusia Kejalan Tuhan Mu dengan Shiddiq dan kesungguhan Kepada Allah Hingga Ketika tiba saat perjumpaan dengan Tuhanmu...

Ketika tiba saat perjumpaan dengan Tuhan Mu dan Kekasih Nya Nabi Muhammad SAW Engkau dengan cepat menjawab panggilan tersebut, hingga Engkau datang menghadapnya, maka sungguh semoga Tuhan Mu Menempatkanmu di Kursi (maqom) Tertinggi...

Di kursi Shidiq dan kesungguhan yang tempatnya adalah di sisi Tuhan Mu yang terbit cahaya terang benderang ditempat itu dari kepada Tuhanmu...

Semoga Tuhanmu yang Maha Dermawan mengangkat derajatmu di Surga Firdaus Surga yang penuh dengan kenikmatan, Surga Keabadian...

Dan semoga Tuhanmu menebar keberkahan dan kebaikan kepada keluarga dan Anak-anak yang engkau Tinggalkan sehingga mereka menjadi sebaik-baiknya penerus setelah Kepergian Mu...

*Syair ini dibuat oleh Guru Mulia untuk Allah yarham Almaghfurlah Habib Munzir Almusawa, pertama kali dibacakan oleh Al Habib Salim bin Umar bin Hafidz di acara Dzikir dan Tabligh Akbar Majelis Rasulullah SAW (25/11) di Monas.|

** Mutiara Kisah Uwais al-Qarny R.A (BAG. II) **

** Mutiara Kisah Uwais al-Qarny R.A (BAG. II) **

(Lanjutan Bag. I; Lihat post sebelumnya)
Tahun terus berjalan, dan tak lama kemudian Nabi SAW wafat, hingga kekhalifahan Abu Bakar telah di estafetkan Khalifah Umar bin Khattab. Suatu ketika, khalifah Umar teringat akan sabda dan wasiyat Nabi SAW. tentang Uwais al-Qarny, sang penghuni langit. Ia segera mengingatkan kepada Imam Ali a.s. untuk mencarinya bersama. Sejak itu, setiap ada kafilah yang datang dari Yaman, beliau berdua selalu menanyakan tentang Uwais al-Qorni, apakah ia turut bersama mereka.

Di antara kafilah-kafilah
itu ada yang merasa heran, apakah sebenarnya yang terjadi sampai-sampai ia dicari oleh beliau berdua. Rombongan kafilah dari Yaman memang sering menuju Syam silih berganti, membawa barang dagangan mereka.

Suatu saat, ketika Uwais al-Qorni tak kunjung ketemu, Umar pun dengan kebijakannya memerintahkan agar semua penduduk Yaman yang telah dewasa agar berangkat menunaikan ibadah haji atas undangan Khalifah. Maka pada tahun tersebut, berangkatlah hampir seluruh lelaki dewasa dari Yaman. Melihat rombongan kafilah dari Yaman datang, segera khalifah Umar bin Khattab dan Imam Ali a.s. mendatangi mereka dan menanyakan apakah Uwais turut bersama mereka. Rombongan itu mengatakan bahwa tidak ada nama Uwais yang layak dicari oleh Khalifah. Yang ada adalah seseorang yang kebetulan bernama Uways, tapi ia hanyalah seorang penggembala unta dan domba yang tak selayaknya dicari.

Uways penggembala itu memang ia ada bersama mereka dan sedang menjaga unta-unta mereka di perbatasan kota. Mendengar jawaban itu, beliau berdua bergegas pergi menemui Uwais al-Qorny. Sesampainya di kemah tempat Uways berada, Khalifah Umar bin Khattab dan Imam Ali a.s. memberi salam. Namun rupanya Uwais sedang melaksanakan shalat dikerumuni oleh kelompok unta sehingga terhalang dari pandangan.

Setelah mengakhiri shalatnya, Uwais menjawab salam kedua tamu agung tersebut sambil bersalaman. Sewaktu berjabatan, Khalifah Umar segera membalikkan tangan Uwais, untuk membuktikan kebenaran tanda putih yang berada ditelapak tangan Uwais, sebagaimana pernah disabdakan oleh baginda Nabi SAW sesuai hadist riwayat Muslim. Memang benar! Dia penghuni langit, sebagaimana pertanda yang diberikan Nabi! Uwais pun ditanya oleh kedua tamu tersebut: “Siapakah nama saudara ? “Abdullah”, jawab Uwais.

Mendengar jawaban itu, kedua sahabatpun tertawa dan mengatakan, “Kami juga Abdullah, yakni hamba Allah. Tapi siapakah namamu yang sebenarnya ?” Uwais kemudian berkata: “Anda berdua sebetulnya siapa?” Kami ini Amirul Mu’minin Umar bin Al- Khottob dan ini Ali” Ketika itu barulah Uwais berkata: ”Nama saya Uwais al-Qorny”.

Dalam pembicaraan mereka, diketahuilah bahwa sang ibu telah meninggal dunia. Itulah sebabnya, ia baru dapat turut bersama rombongan kafilah dagang saat itu. Akhirnya, Khalifah Umar dan Imam Ali a.s. memohon agar Uwais berkenan mendo’akan untuk mereka.

Uwais enggan dan dia berkata kepada khalifah, “Sayalah yang harus meminta do’a kepada kalian”. Mendengar perkataan Uwais, Khalifah berkata, “Kami datang ke sini untuk mohon do’a dan istighfar dari anda sesuai wasiyat Rasul”. Uwais menjawab: “Do’aku bukan hanya untuk kalian berdua, namun untuk seluruh penghuni alam”.

Karena desakan kedua sahabat ini, Uwais al-Qorny akhirnya mengangkat kedua tangannya, berdo’a dan membacakan istighfar…. (Syekh Alwi Al- Haddad: Ad- Da’watut Taammah Wa Tadzkiroul ‘Aammah halaman 65″). Setelah itu Khalifah Umar berjanji untuk menyumbangkan uang negara dari Baitul Mal kepada Uwais, untuk jaminan hidupnya. Segera saja Uwais menolak dengan halus dengan berkata, “Hamba mohon supaya hari ini saja hamba diketahui orang. Untuk hari-hari selanjutnya, biarlah hamba yang fakir ini tidak diketahui orang lagi”.

Setelah kejadian itu, nama Uwais kembali tenggelam tak terdengar beritanya. Namun Syukurlah, beberapa hadist menyebutkan tentang riwayat Uwais Al- Qorny yang dapat kita jadikan teladan: “Seseorang yang bila hadir tak ada yang peduli- bila ia tak hadir tak ada seorangpun yang mencari. Seorang yang tiada dikenal dibumi namun amat masyhur di langit”, dialah Uwais Al- Qorny Al- Yamani.
 

** Mutiara Kisah Uwais al-Qarny R.A (BAG. I) **

** Mutiara Kisah Uwais al-Qarny R.A (BAG. I) **

Pada zaman Nabi Muhammad SAW, ada seorang pemuda bermata biru, rambutnya merah, pundaknya lapang panjang, berpenampilan cukup tampan, kulitnya kemerah-merahan
, dagunya menempel di dada selalu melihat pada tempat sujudnya, tangan kanannya menumpang pada tangan kirinya, suka membaca Al-Qur’an dan menangis ketika membacanya, pakaiannya hanya dua helai sudah kusut pula, yang satu helai untuk penutup badan dan yang satunya untuk selendangan, tiada orang yang menghiraukan, tak dikenal oleh penduduk bumi akan tetapi sangat terkenal di langit.

Pemuda dari desa Qorn – Yaman ini telah lama menjadi yatim, tak punya sanak famili kecuali hanya ibunya yang telah tua renta dan lumpuh. Hanya penglihatan kabur yang masih tersisa. Untuk mencukupi kehidupannya sehari-hari, Uwais bekerja sebagai penggembala kambing dan unta. Upah yang diterimanya hanya cukup untuk sekedar menopang kesehariannya bersama Sang ibu, bila ada kelebihan, ia pergunakan untuk membantu tetangganya yang hidup miskin dan serba kekurangan seperti keadaannya.

Beliau lahir dan besar di Yaman. Adz Dzahabi berkata mengenai beliau, “Seorang teladan yang zuhud, penghulu para tabi’in di zamannya, termasuk diantara wali-wali Allah yang shalih lagi bertaqwa, dan hamba-hamba Nya yang ikhlas” (Siyar A’lam An Nubala’ 4/19)

Kesibukannya sebagai penggembala domba dan merawat ibunya yang lumpuh dan buta, tidak memengaruhi kegigihan ibadahnya, ia tetap melakukan puasa di siang hari dan bermunajat di malam harinya.

Uwais al-Qarni telah memeluk Islam pada masa negeri Yaman mendengar seruan Nabi Muhammad SAW. yang telah mengetuk pintu hati mereka untuk menyembah Allah, Tuhan Yang Maha Esa, yang tak ada sekutu bagi-Nya. Islam mendidik setiap pemeluknya agar berakhlak luhur.

Peraturan-peraturan yang terdapat di dalamnya sangat menarik hati Uwais, sehingga setelah seruan Islam datang di negeri Yaman, ia segera memeluknya, karena selama ini hati Uwais selalu merindukan datangnya kebenaran. Banyak tetangganya yang telah memeluk Islam, mereka pergi ke Madinah untuk mendengarkan ajaran Nabi Muhammad SAW secara langsung. Sekembalinya di Yaman, mereka memperbarui rumah tangga mereka dengan cara kehidupan Islam.

Alangkah sedihnya hati Uwais setiap melihat tetangganya yang baru datang dari Madinah. Mereka itu telah “bertamu dan bertemu” dengan kekasih Allah penghulu para Nabi, sedang ia sendiri belum. Kecintaannya kepada Rasulullah menumbuhkan kerinduan yang kuat untuk bertemu dengan sang kekasih, tapi apalah daya ia tak punya bekal yang cukup untuk ke Madinah, dan yang lebih ia beratkan adalah sang ibu yang jika ia pergi, tak ada yang merawatnya.

Di ceritakan ketika terjadi Pertempuran Uhud Rasulullah SAW mendapat cedera dan giginya patah karena dilempari batu oleh musuh-musuhnya. Kabar ini akhirnya terdengar oleh Uwais. Ia segera memukul giginya dengan batu hingga patah. Hal tersebut dilakukan sebagai bukti kecintaannya kepada beliau SAW, sekalipun ia belum pernah melihatnya. Hari berganti dan musim berlalu, dan kerinduan yang tak terbendung membuat hasrat untuk bertemu tak dapat dipendam lagi. Uwais merenungkan diri dan bertanya dalam hati, kapankah ia dapat menziarahi Nabinya dan memandang wajah beliau dari dekat?
Tapi, bukankah ia mempunyai ibu yang sangat membutuhkan perawatannya dan tak tega ditingalkan sendiri, hatinya selalu gelisah siang dan malam menahan kerinduan untuk berjumpa.

Akhirnya, pada suatu hari Uwais mendekati ibunya, mengeluarkan isi hatinya dan memohon izin kepada ibunya agar diperkenankan pergi menziarahi Nabi SAW di Madinah. Sang ibu, walaupun telah uzur, merasa terharu ketika mendengar permohonan anaknya.
Beliau memaklumi perasaan Uwais, dan berkata, “Pergilah wahai anakku! temuilah Nabi di rumahnya. Dan bila telah berjumpa, segeralah engkau kembali pulang”. Dengan rasa gembira ia berkemas untuk berangkat dan tak lupa menyiapkan keperluan ibunya yang akan ditinggalkan serta berpesan kepada tetangganya agar dapat menemani ibunya selama ia pergi.

Sesudah berpamitan sambil menciumi sang ibu, berangkatlah Uwais menuju Madinah yang berjarak kurang lebih empat ratus kilometer dari Yaman. Medan yang begitu ganas dilaluinya, tak peduli penyamun gurun pasir, bukit yang curam, gurun pasir yang luas yang dapat menyesatkan dan begitu panas di siang hari, serta begitu dingin di malam hari, semuanya dilalui demi bertemu dan dapat memandang sepuas-puasnya paras baginda Nabi SAW yang selama ini dirindukannya.

Tibalah Uwais al-Qarni di kota Madinah. Segera ia menuju ke rumah Nabi SAW, diketuknya pintu rumah itu sambil mengucapkan salam. Keluarlah Sayyidah Fathimah binti Muhammad SAW, sambil menjawab salam Uwais. Segera saja Uwais menanyakan Nabi yang ingin dijumpainya. Namun ternyata beliau SAW tidak berada di rumah melainkan berada di medan perang.

Betapa kecewa hati sang perindu, dari jauh ingin berjumpa tetapi yang dirindukannya tak berada di rumah. Dalam hatinya bergolak perasaan ingin menunggu kedatangan Nabi SAW dari medan perang. Tapi, kapankah beliau pulang ? Sedangkan masih terngiang di telinga pesan ibunya yang sudah tua dan sakit-sakitan itu, agar ia cepat pulang ke Yaman,” Engkau harus lekas pulang”.
Karena ketaatan kepada ibunya, pesan ibunya tersebut telah mengalahkan suara hati dan kemauannya untuk menunggu dan berjumpa dengan Nabi SAW. Ia akhirnya dengan terpaksa mohon pamit kepada Sayyidah Fathimah a.s. untuk segera pulang ke negerinya. Dia hanya menitipkan salamnya untuk Nabi SAW dan melangkah pulang dengan perasaan haru.

Sepulangnya dari perang, Nabi SAW langsung menanyakan tentang kedatangan orang yang mencarinya. Rupanya Nabi Muhammad telah mengetahui tentang Uwais dari Malaikat Jibril. Nabi Muhammad SAW menjelaskan bahwa Uwais al-Qarny adalah anak yang taat kepada ibunya. Ia adalah penghuni langit (sangat terkenal di langit). Mendengar perkataan baginda Rasulullah SAW, Sayyidatina Fathimah a.s. dan para sahabatnya tertegun. Menurut informasi Sayyidah Fathimah a.s., memang benar ada yang mencari Nabi SAW dan segera pulang kembali ke Yaman, karena ibunya sudah tua dan sakit-sakitan sehingga ia tidak dapat meninggalkan ibunya terlalu lama.

Rasulullah SAW bersabda : “Aku berpesan agar kalian, cari Uwais Al- Qorny. Kalau kalian ingin berjumpa dengan dia (Uwais al-Qarny), perhatikanlah, ia mempunyai tanda putih di tengah-tengah telapak tangannya.” Sesudah itu beliau SAW, memandang kepada Imam Ali bin Abi Thalib a.s. dan Umar bin Khattab dan bersabda, “Suatu ketika, apabila kalian bertemu dengan dia, mintalah do’a dan istighfarnya, dia adalah penghuni langit dan bukan penghuni bumi”

Sabtu, 21 Desember 2013

Sejarah Perang Badar 17 Romadhon 2 H


PERISTIWA PERANG BADAR 17 ROMADHON 2 H.

Perang Badar terjadi pada 17 Ramadhan tahun 2 hijriyah. Ini adalah peperangan pertama yang mana kaum Muslim (Muslimin) mendapat kemenangan terhadap kaum Kafir dan merupakan peperangan yang sangat terkenal karena beberapa kejadian yang ajaib terjadi dalam peperangan tersebut. Jumlah kaum Muslimin cuma 313, sementara tentara musuh berjumlah 1000 orang. Namun kaum Muslimin menang, bagaimana bisa?
 

Ekspedisi Tentara Islam
Pada Bulan Safar, awal bulan ke 12 sejak hijrahnya Nabi Muhammad ke Madinah, untuk pertama kalinya Rasulullah saw  keluar untuk berperang dalam kancah perang Wildan. Inilah permulaan disyariatkannya peperangan dalam Islam. Invasi tersebut bertujuan memerangi kaum Quraisy dan Bani Hamzah yang menghalangi dakwah Nabi Muhammad saw.

Persiapan orang Muslim sudah cukup matang, namun peperangan urung digelar, sebab Bani Hamzah menawarkan perdamaian. Maka Rasulullah bersama para sahabat kembali ke Madinah. Selang beberapa waktu, Rasulullah saw mendengar kedatangan rombongan kaum Quraisy dari Syam menuju Makkah di bawah pimpinan Abu Sufyan bin Harb.

Teringatlah Rasulullah saw  pasca peristiwa beberapa saat sebelumnya, ketika masih di Makkah, harta pengikut Rasulullah saw dirampas oleh orang-orang Quraisy. Itulah sebabnya Rasulullah saw segera meminta umatnya mencegah iring-iringan kafilah tersebut, seraya berseru “Barang bawaan mereka harus dirampas sebagai gantinya”.  Namun seruan Rasulullah ini masih disambut dingin oleh sebagian kaum Muslimin. Mayoritas mereka berpikir pesimis, menyangka bahwa peperangan tidak akan terjadi sama seperti penyerbuan ke Madinah pada beberapa waktu yang lalu.

Awal Mula Tragedi Perang Badar
Di suatu malam pada bulan Ramadlan, berangkatlah sekitar 313 orang Islam. Mereka mengendarai 2 kuda dan 70 unta. Setiap unta ditunggangi secara bergantian oleh dua sampai tiga orang. Rasulullah saw langsung memimpin,  yang tujuannya tiada lain kecuali ingin menyerang kawanan kafilah yang dipimpin oleh Abu Sufyan. Sayang, rencana penyerangan itu bocor hingga telinga Abu Sufyan.

Ketika mengetahui dirinya menjadi sasaran umat Islam, dia langsung mengirim delegasi ke kaum Quraisy agar melindungi harta benda bawaannya. Ia mengutus kurir bernama Dham Dham bin Amr al-Ghiffari ke Makkah. Atas siasat Abu Sufyan Dham Dham berpenampilan layaknya orang yang telah disiksa oleh kaum Muslim. Badannya berlumuran darah, serta bajunya tersobek-sobek. Siasat ini mampu menarik simpati kaum Quraisy. Seluruh kaum Quraisy berkumpul dan berangkat ke Madinah, yang dipimpinan Abu Jahal.
Konvoi pasukan yang menuju Madinah kira-kira 1000 personil. Sementara rombongan Abu Sufyan berhasil meloloskan diri melalui mata air Badau, terus ke Pantai lalu menuju Makkah.

Berkobarnya Api Jihad
Berita itu terdengar juga oleh Rasulullah saw, dan menimbulkan suasana genting di pihak kaum Muslim. kafilah yang menjadi targetnya lepas dari genggaman. Berganti tentara kaum Quraisy yang jumlahnya tiga kali lipat lebih banyak. Dalam keadaan yang mendesak seperti ini Rasulullah saw segera mengumpulkan para Sahabat Muhajirin dan mengadakan musyawarah untuk mencari solusi terbaik. Ternyata dari diskusi tersebut para Sahabat yang berjumlah sedikit itu, menunjukkan semangatnya untuk berjihad, lebih-lebih perang sudah diisyaratkan oleh Allah swt, melalui sabda Rasul-Nya.

Ketika kaum Muslimin sedang berdiskusi, kaum Quraisy di bawah pimpinan Abu Jahal mulai merapat ke lembah Badar, menuju kaum Muslimin yang sedang berdiskusi. Lembah ini memang sejak lama diincar oleh Abu Jahal untuk dikuasai.
Ketika mereka sampai di sisi lembah, Rasulullah  saw tampak gagah memimpin pasukan Muslim yang siap tempur di sisi yang berseberangan. Posisi mereka nyaris berhadap-hadapan di dekat mata air Badar. Ketika itu salah seorang Sahabat, Al-Habab bin Mundzir,bertanya kepada Rasulullah: “Ya Rasulallah, apakah dalam memilih tempat ini, Anda menerima wahyu dari Allah swt yang tidak bisa diubah lagi? ataukah berdasarkan taktik perang?”.

Rasulullah menjawab: “Tempat ini aku pilih berdasarkan pendapatku dan taktik peperangan”. Setelah mendengar jawaban Rasulullah saw , Al-Habab mengusulkan pendapatnya, “Ya Rasulullah! jika demikian, ini bukan tempat yang tepat, ajaklah pasukan ke tempat air yang dekat dengan musuh, kita membuat kubu pertahanan di sana dan menggali sumur-sumur di belakangnya, kita membuka kubangan di sana dan kita isi air hingga penuh. Dengan demikian kita akan berperang dalam keadaan persediaan air minum yang cukup, sedangkan musuh tidak akan memperoleh air minum.” Rasulullah saw menjawab, “Pendapatmu cukup baik”. Dengan keputusan itu, lalu Rasulullah saw memberi aba-aba kepada kaum Muslimin untuk segera pindah ke tempat yang telah diusulkan oleh Habab bin Mundzir.

Ketika kaum Quraisy -dengan angkuhnya- maju menuju Lembah Badar, Rasulullah saw mengangkat kedua tangannya seraya berdoa kepada Allah swt, “Ya Rabbi, jika pasukan kecil ini sampai binasa, tidaklah akan ada lagi yang menyembah-Mu dengan hati yang ikhlas”. Ketika Abu Bakar ash-Shidiq melihat wajah Rasulullah saw yang terlihat sedih, maka ia berusaha menenangkan hati junjungannya itu seraya berkata, “Ya Rasulallah, demi diriku yang ada di tangan-Nya,, bergembiralah! sesungguhnya Allah swt pasti akan memenuhi janji yang telah di berikan kepadamu”.

Janji Allah swt
Beberapa saat setelah kedua pasukan berhadapan, peperangan dibuka dengan tampilnya tiga orang Quraisy menuju medan laga, tempat yang memisahkan kaum Muslimin dengan lawan. Ini merupakan salah satu peradaban orang Arab ketika berperang, yakni 'duel satu lawan satu'.

Ketika para sahabat Nabi saw melihat tiga orang maju, maka tiga sahabat Nabi saw, yakni Hamzah, Abu Ubaidillah dan Ali bin abi Thalib, dengan pedang yang bercabang yang diberi nama Zulfikar, menerima tantangan itu. Pertarungan berlangsung sengit di antara ketiganya. Setelah pertarungan yang berlangsung cukup lama itu, ketiga Sahabat Nabi saw memenangkan laga tersebut. Dengan keadaan ini semangat kaum Muslimin semakin membara. Sebaliknya, perasaan kaum Quraisy mulai digrogoti ketakutan.

Beberapa saat kemudian semua tentara membeludak ke medan laga, pertarungan antara kubu Muslimin dengan kubu Quraisy mulai berkecamuk, pertarungan pun berlangsung sengit. Janji Allah swt, seperti yang diinginkan oleh Abu Bakar kepada Rasulullah saw, benar-benar terjadi. Dengan pasukan kecilnya serta peralatan perang seadanya mampu mengalahkan kaum Quraisy yang jumlahnya tiga kali lipat yang dilengkapi dengan peralatan perang. Hal ini di luar nalar pikiran sehat, bagaimana mungkin pasukan kecil ini bisa menang dalam Perang Badar tanpa kehendak Allah swt. Sebagaimana firman-Nya:
(ingatlah) ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu di perkenankanNya bagimu, sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepada kamu dengan seribu Malaikat yang datang berturut-turut,” (QS. al-Anfal [08]:9)
Sungguh Allah telah menolong kamu dalam perangan Badar, padahal kamu adalah (ketika itu) orang-orang yang lemah, karena itu bertakwalah kepada Allah, supaya kamu menjadi orang yang bersukur. (ingatlah), ketika kamu mengatakan kepada orang mukmin, Apakah tidak cukup bagimu Allah swt membantumu dengan tiga ribu Malaikat yang diturunkan (dari langit)? Ya, (cukup), jika kamu bersabar dan bersiap siaga, dan mereka datang menyerang kamu dengan seketika itu juga, niscaya Allah swt menolong kamu dengan lima ribu Malaikat yang memakai tanda, dan kemenangan itu hanyalah dari Allah swt yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”. (Ali Imron [03]:123-126)

Alhasil, pada tragedi perang badar tersebut, orang-orang Quraisy terpukul mundur, meski jumlah mereka tiga kali lebih banyak. Mereka menelan kekalahan besar, oleh hegemoni tentara malaikat. Banyak pemimpin mereka yang tewas, salah satunya adalah Abu Jahal sang pemimpin kaum Quraisy. Ia jatuh sebagai korban kesombongannya yang tidak terkendalikan. Seluruh korban dari golongan kaum Quraisy yang gugur pada peperangan tersebut sekitar 70 orang yang tewas, dan sekitar 70 orang yang menjadi tawanan, sedangkan dari pihak kaum Muslimin ada 14 orang yang gugur sebagai Shuhada.

Namun sebagaimana etika orang Muslim yang telah dibimbing langsung oleh orang yang paling mulia di muka bumi, yakni Rasulullah saw, memperlakukan para tawanan dengan baik, mereka diposisikan bagaikan tamu yang harus dihormati. Ia diberi makanan roti, sementara mereka sendiri mencukupkan dirinya dengan menyantap buah kurma, kaum Muslimin dilarang untuk menyiksa tawanan. Mereka diperlakukan layaknya bukan tawanan, walaupun dalam kondisi menjadi tawanan. Inilah yang selalu dijunjung tinggi oleh Rasulullah saw. Sebagaimana tujuan Ia diutus, yakni untuk menyempurnakan etika mulia.
Sumber: http://sidogiri.net/artikel/detail/61

Referensi:
Muhammad Ridha, Muhammad Rasulullah,
Ibnu al Arabi' Sulaiman bin Musa bin Salim al-Himyari, al Ikhtifa', hal:317 juz 1
Ibnu Katsir al-Bidâyah wa al Nihâyah, hal 256 juz 3
Tafsir al Thabari, hal 122 juz 9           
Ibnu Katsir, as Sirah an Nabawiyah, hal 381 juz 2
Ahmad Muhammad Syakir Tahqiq hal 18 juz 5
Ibnu Hisyam, As-Sirah an Nabawiyah hal 620 juz 1
Ibnu Sa'ad, At-Thabaqat al-Kubra hal 15 juz 3
Ibnu Katsir Tafsir at-Thabâri hal 193-194 juz 3

Kenapa minus dikali minus hasilnya plus? Al Qur’an Punya Jawabannya


Kenapa minus dikali minus hasilnya plus? Al Qur’an Punya Jawabannya

 

Mengapa plus dikali plus hasilnya plus&juga kalau minus dikali plus atau sebaliknya plus dikali minus hasilnya minus? Anehnya pula, kenapa minus dikali minus hasilnya plus ?
Hikmahnya adalah:
» Mengatakan/menyatakan”Benar”terhadap hal-hal yang”Benar”adalah suatu tindakan yang”Benar”ataubahasa matematikanya seperti ini”+ x + = +”
» Mengatakan/menyatakan”Benar”terhadap sesuatu yang”Salah”adalah suatu tindakan yang”Salah”ataudgn kata lain”+ x – = -”
» Mengatakan/menyatakan”Salah”terhadap sesuatu yang”Benar”adalah suatu tindakan yang”Salah”ataupenulisan logika matematikanya seperti ini”- x + = -”
» Terakhir, mengatakan/menyatakan”Salah”terhadap sesuatu yang”Salah”adalah suatu tindakan yang”Benar”atau”- x – = +”
Semua rumus matematika diatas merupakan. Ketetapan Allah&terangkumdalam kalimat:”Qullilhaqqo wa in kaana murron”(Katakanyang sebenarnya walau itu pahit rasanya).
Barakallah fiikum…

Sumber  : http://kisahislami.com/kenapa-minus-dikali-minus-hasilnya-plus-al-quran-punya-jawabannya/

Google Santri